Subscribe:

Kamis, 28 November 2013

Isu-Isu Geopolitik di Timur Tengah



Hubungan antara geografi dan politik di kawasan Timur Tengah adalah termasuk unik. Beberapa isu transnasional juga dapat kita temukan di kawasan ini. Isu-isu geopolitik yang dapat kita temukan di antaranya adalah: batas internasional, senjata pemusnah massal, penyelundupan senjata, migrasi dan pengungsi, penjualan narkotika, minyak, air, ketahanan pangan, pan-Arabisme, fundamentalisme, terorisme dan konflik.
            Dalam masalah sengketa batas internasional, pada perang dunia pertama dan kedua, begitu juga hingga perang dingin (Cold War), Timur Tengah selalu tak luput dari masalah ini. Perang Teluk (Gulf War) pada 1991 antara Irak dan Kuwait memberikan kita salah satu contoh tentang berperannya penjaga keamanan internasional untuk mengamankan eksistensi negara tersebut.
            Kenapa terjadi masalah batas wilayah? Itu karena, masalah kejelasan teritorial masih simpang siur, ditambah dengan keamanan suatu negara yang masih lemah. Akibat masalah ini kemudian adalah timbulnya konflik antar kawasan, saling klaim hingga perang menjadi tidak terelakkan lagi.
            Setidaknya, solusi bagi masalah kawasan ini setidaknya ada dua, pertama adalah fusion atau bergabung menjadi satu, dan kedua adalah fission yaitu berpisah. Pada kasus fusion kita bisa melihat di negeri Yaman, sedangkan pemisahan atau fission bisa dilihat dari negara Israel dan Palestina dengan konsepsi ”two state solution” (solusi dua negara).
            Dalam masalah kawasan ini juga dibedakan antara batas (boundary) dan perbatasan (frontier). Batas didefinisikan sebagai tanda yang membatasi bagian wilayah yang paling luar yang dikuasai oleh suatu negara. Sedangkan perbatasan adalah tapal batas atau garis pemisah antara dua negara. Boundary memilik makna ke dalam (intern), sedangkan frontier memiliki makna batas relasi antara dua negara yang bertetangga.
            Walaupun perbatasan diartikan sebagai garis yang tidak tampak, tapi dapat diidentifikasi pada bentang alam. Tidak semua batas negara memiliki tanda atau ditandai di lapangan, tapi umumnya diusahakan agar lebih tegas secara kasat mata. Oleh karena itu, jika terdapat fenomena alam yang relatif stabil maka digunakan fenomena alam seperti sungai, puncak perbukitan, dan lautan. Jika tidak ada atau masih menimbulkan konflik yang berkepanjangan maka biasanya dibuat pagar, jalan atau jalur lintasan dengan membangun tembok, kawat berduri atau jalan.
            Sebagai boundary, pagar pembatas wilayah negara memiliki makna bahwa wilayah suatu negara ditentukan luasnya dengan cara menghitungnya dari batas terluar negara tersebut. Sedangkan sebagai frontier, pagar pembatas tersebut memiliki makna bahwa penduduk setempat negara tertentu tidak boleh keluar tanpa izin dan sebaliknya penduduk dari negara tetangganya tidak boleh sembarangan juga memasuki wilayah negara tersebut.
            Masalah kedua dalam geopolitik adalah tentang senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction). Senjata nuklir, senjata kimia dan senjata biologi adalah termasuk dalam kategori pemusnah massal. Israel, seperti kesaksian dari mantan teknisi nuklir Israel Mordechai Vanunu, termasuk negara yang membuat nuklir, begitu juga dengan Iran, Libya, dan Pakistan. Iran bahkan telah mendeklarasikan bahwa Iran adalah bagian dari negara-negara nuklir dunia karena keberhasilan insinyur nuklirnya. “Iran telah menjadi bagian dari negara-negara nuklir dunia," kata Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam acara perayaan besar-besaran di Mashhad yang disiarkan televisi secara nasional, demikian dikutip Kompas (13/04/2006).
            Isu lain adalah berkenaan dengan migrasi dan pengungsi. PBB mengestimasikan sekitar 20 juta pengungsi pada akhir abad keduapuluh. Cohen (1995) menyebut bahwa migrasi orang Yahudi dari Eropa ke tanah Palestina adalah salah satu migrasi yang besar di Timur Tengah. Kaum Zionis Politik merencanakan bahwa migrasi itu adalah suatu homecoming, “pulang kembali” ke tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka setelah sebelumnya mereka tercerai-berai.  
              Masalah lain adalah tentang penjualan narkoba. Narkoba adalah elemen kunci dalam agenda politik makro. Ini telah menjadi isu internasional. Bahkan, kontrol dari pembuatan hingga penjualan barang tersebut telah mencakup negara-negara di dunia. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis ini juga sangat fenomenal dan menjanjikan.
            Isu lainnya adalah tentang minyak. Timur Tengah adalah “lumbung”-nya minyak di dunia. Semua negara di dunia ini membutuhkan minyak. Karena banyaknya minyak, maka konflik antar sesama negara Timur Tengah pun terjadi, seperti antara Irak dan Kuwait. Begitu juga dengan kepentingan negara-negara besar seperti Amerika yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut.
            Lainnya adalah adalah tentang Pan-Arabisme atau nasionalisme Arab. Gerakan ini adalah untuk penyatuan negara-negara Arab untuk menjadi sebuah kekuatan besar dalam dunia politik. Kesamaan bahasa, geografis, dan budaya yang membuat gerakan ini dibuat. Kata kunci dari gerakan ini adalah negara-negara berbahasa Arab, dan ini adalah efek dari Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Bahasa ini kemudian menjadi unsur penyatu bagi negara-negara Arab. Selain itu, adalah karena mereka memiliki agama yang sama, yaitu Islam. “...the common culture for the Arab world is that the great majority of people share a commom religion, Islam,” tulis Ewan W. Anderson dalam The Middle East Geography & Geopolitics (hal. 300)
            Masalah fundamentalisme terjadi di Kristen, Yahudi dan Islam. Namun dari segi politik, fundamentalisme kaum Zionis Yahudi adalah lebih efektif dengan fundamentalis dari agama Islam. Itu, karena fundamentalisme Yahudi berhasil mendirikan yang the state of Israel di Timur Tengah. Ini cukup beralasan karena, dalam kalangan fundamentalis Islam kerap mengalami kegagalan internal ketika hendak mendirikan sebuah gerakan transnasional, seperti nasionalisme Arab, atau pan-Islamisme-nya Jamaluddin al-Afghani. Jika dilihat dari konteks berhasilnya sebuah ide, maka gerakan fundamentalis Yahudi lebih berhasil. Persoalan Arab sendiri yang tidak bisa bersatu karena egoisme ingin menjadi pemimpin adalah masalah tersendiri yang membuat negara gerakan Pan-Arabisme atau gerakan negara-negara Arab tidak memberi arti banyak bagi umat Islam, sebutlah kasus Palestina yang belum juga merdeka padahal OKI telah lama didirikan oleh negara-negara Arab untuk menyelesaikan masalah Palestina.
            John Esposito menyebut dua kata kunci dalam fundamentalisme Islam, yaitu revivalisme dan aktivisme. Kedua term ini pada hakikatnya memiliki satu tujuan yaitu kebangkitan Islam. Gerakan seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, adalah gerakan revivalis yang berjuang demi tegaknya Islam. Mereka kemudian menggerakkan konsepsi dasar perjuangannya dengan nuansa pergerakan untuk membangkitkan Islam yang dulu pernah berjaya di abad ke-7 masehi hingga abad-abad sesudahnya. Namun, pergerakan revivalis itu kerap malah terkena demonologi, digambarkan sebagai setan oleh media massa dari Barat. Ini juga berimplikasi pada hal-hal yang berbau Arab, apalagi sesudah tragedi WTC di Manhattan, US, 2001.
            Masalah lainnya adalah tentang terorisme dan konflik. Terorisme dewasa ini kerap ditujukan pada gerakan-gerakan Islam, padahal dalam agama lain juga ditemukan adanya terorisme. Kasus Timothy McVeigh sang pengebom gedung federal di Oklahoma City pada 1995 yang menewaskan 168 orang adalah salah satu contoh betapa pelaku teror itu tidak melulu dilakukan oleh gerakan Islam. Gerakan Hamas di Palestina dengan infadah-nya kerap juga disebut sebagai teroris. Padahal, sejatinya definisi teroris yang belum paten juga berimplikasi pada tindakan Israel, juga Amerika yang menyerang Afghanistan, juga Irak adalah tindakan terorisme negara.
            Menurut Anderson, masalah terorisme di Timur Tengah setidaknya tidak lepas disebabkan oleh dua hal: berdirinya negara Israel yang juga disupport oleh Amerika, dan masalah proporsi sumber daya minyak. Kedua masalah ini kerap menjadikan alasan terjadinya teror di Timur Tengah.
            Beberapa masalah dalam geopolitik di atas masih tetap ada dan relevan untuk dijadikan kajian, karena isu tersebut masih berlanjut hingga kini. 

           

Oleh Yanuardi Syukur
 

Sumber:
  1. Ewan W. Anderson, The Middle East Geography & Geopolitics
  2. Sri Hayati & Ahmad Yani, Geografi Politik, Bandung: Refika Aditama, 2007
  3. Ensiklopedia Wikipedia
  4. Harian Kompas
http://kajiantimurtengah.multiply.com/

Senin, 25 November 2013

INDONESIA DISADAP, KENAPA HERAN?



Akhir-akhir ini, pemberitaan di media massa yang sedang menghangat salah satunya adalah isu penyadapan Amerika terhadap Indonesia melalui Australia yang di bocorkan oleh mantan kontraktor agen  National Security Agency (NSA), Edward Snowden yang kini berada di Rusia karena meminta perlindungan pada pemerintah Rusia  atau Suaka. Snowden sebenarnya sudah membocorkan rahasia inteligen Amerika  beberapa tahun yang lalu, namun tidak banyak begitu menarik respon pemerintah Indonesia karena belum ada informasi yang merugikan Indonesia. Rentetan dari masalah Indonesia disadap ketika Snowden membocorkan isu penyadapan AS kepada Negara-negara anggota G20 saat forum tersebut berlangsung di Vladivostok, Rusia. Kemudian berlanjut pada penyadapan Duta besar Indonesia di  London, Inggris. Sampai penyadapan langsung pada Handphone Presiden SBY dan beberapa pejabat tinggi Indonesia lainnya oleh NSA yang membuat “marah“  Presiden SBY. Akan tetapi kemarahan SBY tidak semarah Kanselir Jerman  Angela Merkel dan Presiden Brazil yang terlebih dahulu disadap secara langsung memprotes keras bahkan Brazil membatalkan pembelian pesawat tempur dari Amerika sebagai ekspresi kekecewaan atas penyadapan itu.
Munculnya bocoran kawat diplomatik AS pertama kali disebarkan oleh Surat kabar Inggris Guardian yang terbit di London dan surat kabar Amerika Washington Post mengungkapkan bahwa seorang warga Amerika berusia 29-tahun yang bekerja sebagai kontraktor pada badan keamanan nasional Amerika, atau NSA, adalah orang yang membocorkan rahasia pemantauan hubungan elektronik yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika itu yang kemudian dikutip oleh banyak media massa di seluruh  dunia termasuk TVone. Menurut laporan surat kabar itu, pengungkapan identitas dan nama Edward Snowden itu dilakukan atas permintaannya sendiri. Surat kabar Guardian mengutip Snowden mengatakan, “Tujuan saya hanyalah untuk memberi tahu rakyat Amerika tentang hal-hal yang dilakukan atas nama mereka, dan tindakan-tindakan yang akan merugikan mereka.”
Laporan-laporan yang dimuat harian Guardian dan Washington Post dalam seminggu terakhir mengungkapkan adanya dua program pemantauan yang dijalankan pemerintah Amerika.   Pertama adalah program pemantauan hubungan telpon ratusan juta rakyat Amerika tiap hari, guna menciptakan suatu database  untuk melihat apakah ada tersangka terroris di luar negeri yang menghubungi orang di Amerika. Sementara yang kedua adalah program yang diberi nama PRISM yang memungkinkan NSA dan FBI untuk secara langsung menyadap sembilan jaringan internet Amerika untuk mengumpulkan data tentang  penggunaan saluran elektronik itu, termasuk penyadapan audio, video, foto dan email, dan untuk mengetahui informasi apa saja yang dicari orang. Tujuannya adalah untuk mencari kegiatan-kegiatan yang mencurigakan yang datang dari luar negeri.
Awalnya pemerintah Indonesia tidak menganggap serius semua bocoran whistleblower itu walaupun sebenarnya pemerintah tahu dan harap-harap cemas namun pemerintah berusaha tenang di hadapan media dan rakyat karena ini adalah isu yang sangat sensitif. Sedangkan pemikiran masyarakat terhadap isu internasional sebagian besar belum memahaminya secara menyeluruh dan bahayanya isu tersebut dapat dimanfaatkan musuh politik SBY untuk menciptakan kegaduhan politik domestik mengingat tahun pemilu 2014 sebentar lagi sehingga ini adalah kesempatan untuk membangun citra pemimpin yang  seolah anti-asing dan Nasionalis. Ketika Snowden membocorkan kegiatan intelijen Negara-negara yang tergabung dalam “The Five Eye “ yang melakukan penyadapan terhadap Negara “kawan” dan “lawan” yang terdiri dari Amerika, Australia, Singapura, Jepang dan Kanada  membuat geram SBY karena Australia langsung menyadap handphone  pribadi SBY bahkan Ibu Ani Yudhoyono pun disadap. Sejumlah pihak menilai SBY lambat dan kurang tegas dalam merespon penyadapan itu namun perlu diketahui bahwa SBY adalah mantan petinggi intellijen ABRI dan bukan pemain baru di kancah perpolitikan  Internasional ini berarti kalau SBY tahu betul soal aktivitas penyadapan dan bagaimana harus bertindak.
Dalam hubungan internasional ada dua cara pandang atau paham yang dominan dari suatu Negara dalam memandang hubungan antar Negara maupun kondisi dunia internasional. Pertama, Realisme yang memandang dunia internasional adalah anarkhi dimana tidak ada world government atau otoritas terpusat. Power adalah hal yang utama dalam menentukan posisi suatu Negara, isu utama bersifat high politics seperti politik dan militer. State actor adalah  government to governmet (G to G) dan tidak menganggap actor non-state sebagai pemain utama seperti NGO, MNC dan indvidu. Menurut Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Kalangan realis-defensif semacam Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara memiliki sedikit kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military conquest). Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh Sedangkan realis ofensif sebaliknya. Lalu, Liberalisme Dalam tulisan Walt mengulas mengenai perkembangan teori ‘democratic peace’. Teori ini berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun ia jarang melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma demokrasi menentang penggunaan kekerasan sesama mereka.  Itulah yang menyebabkan perdebatan, Jika realisme melihat konflik sebagai kunci untuk memahami politik internasional (zero sum game) dan liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting (positif sum game) dan dimana realis menekankan negara sebagai actor utama dan liberalisme menekankan pada ¬non-state actors. Secara geopolitik, dulu Amerika menganut pemahaman dari Spykman (1839-1943) Teori Daerah Batas (Rimland theory) Teorinya dipengaruhi oleh Mackinder dan Haushoffer, terutama dalam membagi daerah. Dalam teorinya tersirat bahwa: (a) Dunia menurutnya terbagi 4 daerah, yaitu: Heartland, Offshore continents belt (rimland), Oceanic belt dan New World (benua Amerika), (b) Menggunakan kombinasi kekuatan darat, laut dan udara untuk kuasai dunia, (c) Daerah Rimland akan lebih besar pengaruhnya dalam percaturan politik dunia daripada daerah jantung, (d) Wilayah Amerika yang paling ideal dan menjadi negara terkuat. Sedangkan Australia dipengaruhi oleh Mackinder: the power of maritime states, jika ingin menguasai dunia harus menguasai world Islamd (Eurasia dan Asia) sama halnya dengan Inggris[1]. Akan tetapi geopilitik abad 21 telah menyatukan pemahaman kedua Negara itu yaitu konsep power global; konsep GPS (Geografi, Populasi, dan SDA) digantikan oleh konsep ISR (Informasi intelijen, Surveillance, dan Reconnaissance) dan C4I (Command, Control, Communications, Computer Processing, dan Intelijen). Geopolitik kontemporer menggunakan para pemimpin dan elit pemerintahan untuk membentuk identifikasi dan konsep atas geopolitik, yaitu konsep geopolitical-man. Di masa kecanggihan teknologi, dunia akan menyaksikan bahwa kebijakan-kebijakan penting akan diambil oleh kolektif manusia dan bahkan kolektif cyborg dalam sebuah network ekonomi, sosial, politik[2]. Sedangkan konsep geopolitik Indonesia adalah wawasan nusantara yang lebih menjunjung perdamaian.
Motif Penyadapan
Pergeseran paradigma geopoltik saat ini kepada masalah ekonomi rupanya menjadi main interest saat ini yang berimplikasi pada politik dan Militer. Ini terlihat dari penyadapan Australia pada sejumlah pejabat tinggi Indonesia banyaknya yang bergerak di bidang perekonomian. Secara implisit, masalah ekonomi menyatukan pemahanan geopolitik ketiga Negara tersebut. Bisa kita lihat dari konsep geopolitik Amerika terhadap Asia saat ini yaitu Counter Hegemony of China, Control on Malacca as a strategic road, Counter Islamism (terrorism) like in Malaysia, Importance of the role of ASEAN (peacemaking, peacekeeping, free trade) dan Indonesia mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis untuk membantu Amerika dalam menyelesaikan masalah tersebut sehingga mereka perlu memastikan hubungan dengan Indonesia semakin kuat dan cara yang tepat melalui intelligen. Sedangkan Kepentingan Australia paling dominan mengenai Imigran gelap, HAM Papua Barat, Perdagangan dan Militer Indonesia yang semakin kuat. Tentunya bagi Australia dan Amerika yang menganut paham realis memandang, peningkatan kekuatan militer Negara lain adalah suatu ancaman maka harus cepat diketahui untuk mengamankan kepentingan dirinya dan sekutu. Bagi Amerika ketakutan itu bermula dari meningkatnya pengaruh China secara ekonomi dan militer di Asia terlebih China membuat ulah dengan mengklaim Laut China Selatan sebagai kedaulatannya. Lalu ingin mengetahui kedekatan Putin, Xi Jinping dan Yudhoyono mengenai masalah militer. Oleh karena itu menurut sejumlah pengamat militer, tsk heran AS akan mengalihkan 60% militernya di Asia Pasifik dan menambah 4000 marinir di Darwin. Ini menunjukan sangat pentingnya Indonesia dan menjanjikannya kawasan asia pasifik secara ekonomi dan militer.
 Asing dan Kedaulatan Industri Komunikasi

Menurut Merdeka.com - International Telecommunication User Group (INTUG) menilai penyadapan terhadap jaringan telekomunikasi Indonesia akan terus terjadi selama asing menguasai hampir 100 persen operator di Tanah Air. Itu dikarenakan pembangunan infrastruktur dan penciptaan pasar di industri telekomunikasi membutuhkan investasi yang tidak sedikit, sedangkan pemodal lokal kurang bisa menanggungnya, maka wajar, berkat kekuatan modal yang dimiliki, kini hampir semua operator seluler, baik Telkomsel, Indosat, XL, Tri, dan Axis dikuasai oleh asing. Berdasarkan laporan keuangan operator, saat ini nilai kapitalisasi pasar Telkomsel mencapai USD24 miliar atau sekitar Rp 240 triliun. Artinya, dengan menguasai 35 persen saham Telkomsel, nilai kapitalisasi saham Singtel mencapai USD 8 miliar atau Rp 80 triliun. Di luar Telkomsel, nilai investasi Axiata Berhad yang memiliki 66 persen saham XL Axiata juga cukup besar. Dengan kapitalisasi saham XL sekitar Rp 43 triliun, nilai saham Axiata di perusahaan ini mencapai sekitar Rp 28 triliun.  Sementara Indosat dengan kapitalisasi pasar sekitar Rp 35 triliun sebesar 65 persen atau Rp 23 triliun dimiliki oleh Ooredoo, investor asal Qatar. Pemilik asing di tiga operator besar juga menguasai pelanggan telekomunikasi di Indonesia, yang mana bila digabungkan menguasai hampir 90 persen pangsa pasar. Telkomsel saat ini telah mencatat jumlah pelanggan terbesar dengan mencapai 125 juta pelanggan, PT Indosat Tbk dengan 55,9 juta pelanggan, diikuti PT XL Axiata Tbk dengan 49,1 juta pelanggan, dan PT Hutchison CP Telecommunications (Tri) serta PT Axis Telecom sebanyak 17 juta pelanggan. Inilah salah satu penyebab yang paling penting mengapa kita mudah di sadap kalau tidak ada bantuan pihak asing yang menguasai operator dan vendor ponsel di Indonesia.
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang menurut penulis menarik berdasarkan pendekatan teori Hubungan Internasional dan politik internasional sebagai bagian dari penutup, yaitu :
1.      Setiap Negara mempunyai perbedaan paham dalam memandang hubungan internasional dimana Australia lebih realis (kerjasama, persaingan, saling curiga, military power) dan Indonesia lebih Liberalis (kerjasama, perdamaian).
2.      Dalam Intelijen kegiatan menyadap adalah hal biasa, pun demikian menurut hubungan internasional yang mengacu kepada paham realis. Dalam pola pikir realis, setiap negara harus melakukan segala cara, halal atau tidak halal, demi melindungi negaranya. Karena itu, dengan pola pikir ini, setiap negara harus mempercanggih teknologinya supaya tidak bisa disadap dan melakukan upaya kontra-spionase. Tapi pola pikir seperti ini tidak akan membawa perdamaian dunia: dunia akan terus berkonflik. Dari sisi hubungan internasional, mata-mata jelas tidak legal. Makanya banyak negara yang menghukum mati mata-mata yang tertangkap. Masalahnya, bagaimana kalau yang menjadi markas mata-mata itu justru kedubes? Kedubes di sebuah negara adalah wilayah berdaulat; pemerintah negara tempat Kedubes berada tidak boleh masuk tanpa seizin Kedubes. Di sisi lain, diplomasi memang sangat terkait dengan kegiatan mata-mata. Sudah bukan rahasia lagi bila diplomat bertugas mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari negara tempatnya bertugas. Tapi, mencari informasi ini bisa dengan cara halal (legal), bisa juga dengan cara haram (misalnya, penyadapan ini). Nah, bagaimana status hukumnya? Hukumnya ditetapkan oleh masing-masing negara (bisa dideportasi, dipenjara, atau bahkan dihukum mati). Namun pelaksanaannya sangat bergantung kepada kekuatan (power) negara masing-masing dan sudah jelas sang superpower adalah Amerika Serikat maka dialah yang dominan sebagai penentu (TheGlobalReview).
3.      Sebagai seorang akademisi, rasa skeptis harus tetap ada supaya pencarian tidak berhenti pada satu titik. Begitupun dengan masalah ini, menurut beberapa sumber jika Snowden merupakan bagian dari rencana AS supaya mampu masuk kedalam pusat informasi strategis pada Negara yang melindunginya sehingga bisa mengetahui kelemahan Negara tersebut dengan berpura-pura membocorkan rahasia AS pada dunia. Dalam dunia militer atau intellijen dikenal false flag opprations (operasi bendera terbalik) yaitu Bendera palsu (atau bendera hitam) menggambarkan militer rahasia atau operasi paramiliter yang dirancang untuk menipu sedemikian rupa bahwa operasi muncul seolah-olah mereka sedang dilakukan oleh entitas lain, kelompok atau bangsa daripada mereka yang benar-benar merencanakan dan mengeksekusi mereka. Operasi dilakukan selama masa damai oleh organisasi sipil, serta instansi pemerintah rahasia, mungkin dengan ekstensi disebut operasi bendera palsu jika mereka berusaha untuk menyembunyikan organisasi sebenarnya di balik operasi (Wikipedia). Seperti Julian Assange dengan mesin WikiLeaks-nya yang telah 'ketahuan'  bahwa ternyata bocoran Assange selalu dikonsultasikan dengan Paman Sam (TheGlobalReview), maka Snowden pun dicurigai sebagai bagian dari false flag. Namun entah benar atau tidak karena ini baru ekspektasi penulis saja mengingat AS sangat mahir dalam propaganda terutama di era perang Asimetris saat ini.
4.      Dari segi militer, Australia menganggap peningkatan militer Indonesia yang mengejar Minimmum Essential Force adalah suatu ancaman yang menakutkan. Salah satunya Indonesia memdapat kredit $ 1 milliar dari Rusia untuk membeli kapal kapal selam kelas kilo yang mempunyai daya perusak dahsyat dimana Australia sendiri belum mempunyainya, selain itu juga pergerakan kapal selam ini senyap dan tidak mudah terlacak. Angkatan udara juga selalu unggul saat latihan gabungan dengan Australia. Menurut sejumlah sumber, peringkat militer Indonesia jauh diatas Australia namun jangan lantas membuat kita seakan menantang perang karena Australia mempunyai 3 pakta pertahanan yang paling penting yaitu dengan Negara Commenwealth, NATO, ANZUZ dengan AS.  Maka sebaiknya menurut hemat penulis yang paling penting dilakukan saat ini adalah perkuat system keamanan kita baik cyber maupun fisik karena dalam geopolitik abad 21 bangsa yang mempunyai keunggulan teknologi  akan mendapat keuntungan , memprotes adalah hal yang wajar namun terukur dan tetap dilkukan dalam  menjunjung perdamaian mengingat setiap bangsa mempunyai cara pendang yang berbeda dalam politik internasional dan kita tidak bisa memaksakan kehendak kita. Jadi sebenarnya hal ini adalah biasa dalam hubungan internasional dan dapat diselesaikan dengan diplomasi lalu introspeksi diri adalah hal yang utama demi menjaga kedaulatan kita mengingat kita adalah bangsa yang besar dan strategis dalam berbagai bidang. Globalisasi bukanlah alasan untuk menghilangkan peran militer, akan tetapi seharusnya diperkuat untuk menjaga asset nasional kita karena pertumbuhan ekonomi kita saat ini sangat seksi untuk masa depan. Menurut Maurin Travelli “teruslah bertanya agar Negara tetap jaya”











[1] Flint, Colin. 2006. Introduction to Geopolitics. London: Routledge.

[2] Sempa, Francis, 2002. Geopolitics, from Cold War to the 21st Century. Transaction Publisher