Subscribe:

Sabtu, 14 Desember 2013

YAHUDI BUKANLAH BANI ISRAEL


Saat ini, apakah anda mengetahui siapakah mereka yang di sebut dengan yahudi? Apa latar belakang mereka, bagaimana niat mereka untuk kuasai dunia? , berikut tulisan Ahmad Thomson, berkebangsaan Inggris, dan beliau seorang mualaf , memberikan gambaran secara jelas siapa itu yahudi.
Yahudi, yang diduga merupakan keturunan bani Israel yang menolak Isa dan Muhammad, (semoga rahmat dan kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka), dimana penolakan mereka tersebut berlanjut hingga kini, terbagi dalam dua kelompok yaitu kaum Sephardim dan kaum Ashkenazim. Jumlah kaum Ashkenazim jauh lebih banyak dari kaum Sephardim. Asal usul mereka sangat berbeda satu sama lainnya.
Kaum Sephardim, pada umumnya adalah Yahudi yang sejak zaman dahulu telah tinggal di Afrika Utara, Timur Tengah dan Eropa Tenggara. Dan pada suatu masa mereka juga pernah tinggal di Spanyol pada zaman muslim berkuasa disana (711 A.D- 1609 A.D), namun mereka dimusnahkan ataupun terpaksa melarikan diri pada saat pendudukan Kristiani Trinitas pada tahun 1492 A.D. Setelah ini sesungguhnya tidak ada lagi kaum Sephardim yang tinggal di Spanyol, dan banyak dari mereka yang tinggal di Afrika Utara, Timur Tengah dan Eropa Tenggara dikenal sebagai Yahudi yang berasal dari Spanyol ataupun keturunannya bukan sebagai keturunan Yahudi yang tinggal di wilayah tersebut diatas sejak zaman Musa dan Isa ataupun pada masa sebelumnya dari suku bani Israel.
Sangatlah jelas bahwa asli dari ‘Yahudi Spanyol’ adalah orang-orang yang bermigrasi dari Eropa tenggara, Timur tengah dan Afrika Utara selama pemerintahan muslim di Spanyol-namun seperti yang akan kita lihat nanti, Insya Allah-kemungkinan beberapa Yahudi dari Spanyol bukanlah imigran Sephardic dari timur, melainkan Yahudi Ashknazi dari Utara. Sejak saat itu Yahudi Ashknazi dikenal sebagai Yahudi bukan keturunan bani Israel, namun keturunan dari ‘Yahudi Spanyol’ bukan Yahudi Sephardic-walaupun pada masa ini mereka dikenal dengan nama tersebut.
Ashkenazi pada umumnya adalah Yahudi dari abad ke delapan dan seterusnya tinggal di Eropa dan terakhir di Amerika. Tidak dapat disangkal bahwa Yahudi Ashkenazi bukanlah keturunan bani Israel asli. Arthur Koestler menyebut mereka, ‘bani yang ke tiga belas’ dalam bukunya
Singkatnya, kisah Ashkenazi adalah sebagai berikut:
Pada abad ketujuh A.D. terdapat suku Turky yang dikenal kaya dan mempunyai kekuasaan yang besar di sekitar laut mati dan laut Kaspia. Mereka dikelilingi oleh Kristiani Eropa dari utara, dan oleh Muslim dari selatan. Untuk menjaga keamanan kerajaan mereka, dan untuk alasan kebijaksaan politik semata dan bukanlah alasan-keagamaan-pemimpin mereka memutuskan bahwa seluruh suku Khazar harus menganut agama Yahudi, dengan alasan Kristiani Eropa tidak akan mengganggu mereka jika mereka menyembah Tuhan, begitu juga kaum muslimin akan memperlakukan mereka sebagai ‘ahli kitab’, dan juga tidak akan mengganggu mereka.
Alasan lainnya, jika mereka memilih Kristiani atau Muslim, tentunya mereka akan terlibat di dalam pertikaian yang sudah ada diantara Kristiani Eropa dan Muslim-sehingga memilh agama Yahudi adalah jalan yang paling aman bagi mereka.
Michael Rice menggaris bawahi asal usul dan sejarah Khazars di dalam bukunya Keturunan Palsu, dalam kalimat berikut:
Khazar adalah salah satu suku Turki yang pindah kearah barat sebagai konsekuensi dari adanya tekanan besar di Asia, dimulai dengan menetap di sebelah Utara kerajaan Byzantine, dalam pertengahan abad pertama millennium AD. Kedatangan mereka disebabkan oleh adanya invasi Mongol. Khazar pertama kali muncul di Rusia Selatan, di wilayah antara Kaukasus, Don dan Volga; kemudian mereka mulai memperlihatkan sifat nomadennya dan mulai berusaha untuk mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan.
Khazar, suku ini hidup dengan makmur. Akibatnya Byzantin dan kerajaan Muslim mulai tertarik dengan mereka dan pada kenyataannya tidaklah mudah bagi satu sama lainnya untuk melakukan komunikasi.Kedua kekuatan ini baik kristiani Eropa maupun Muslim sama-sama menekan kaum penyembah berhala ini (Khazar) untuk menerima ajaran agama mereka yang masing-masing meyakini bahwa agama merekalah yang paling benar. Kaum Khazar dikenal sebagai orang-orang yang pandai, yang sangat cemas akan kondisi yang ada sehingga mereka tidak memilih salah satu agama baik dari Kristiani Eropa maupun dari Muslim.Karena jika mereka memilih salah satu dari kekuatan besar ini, artinya mereka akan mengasingkan kekuatan yang lain. Sehingga Khazar mulai mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Solusi tersebut adalah dengan menganut agama Yahudi dengan harapan bisa menghindarkan tekanan dari kedua kekuatan besar mereka.
Khazar melakukan penelitian secara mendalam agama apakah yang dapat diterima oleh kedua kekuatan besar Kristiani dan Muslim sebagai agama yang terhormat dimana masalah ini tertulis di dalam Korespondensi Khazar. Didalam korespondensi Khazar ini dilaporkan bahwa utusan Muslim yang datang kepada mereka untuk merubah agama mereka menjadi Islam, mereka mengajukan pertanyaan, ‘ Agama mana yang anda lebih hargai, Yahudi atau Kristiani? Tanpa ragu-ragu Muslim menjawab agama Yahudi. Sebaliknya mereka juga bertanya kepada kaum Byzantin, yang mempromosikan agama Kristen orthodox, ‘Agama mana yang anda lebih hargai, Yahudi atau Islam? Kaum Kristiani dengan serentak menjawab, ‘ Yahudi’. Oleh karena keputusan segera dibuat dan Khazars resmi menjadi Yahudi.
Karena itulah dalam waktu relatif singkat, seluruh khazar menjadi Yahudi, walaupun tidak ada satupun nenek moyang mereka yang pernah tinggal di tanah suci, dan tidak ada satupun dari mereka yang berasal dari keturunan bani Israel yang mendapatkan ajaran Musa secara langsung.
Sangat jelas bahwa kelompok Yahudi Eropa ini tidak pernah dapat mengakui bahwa mereka mempunyai garis keturunan dengan Yahudi yang pernah tinggal di tanah suci ataupun disekitarnya. Mereka sesungguhnya mempunyai posisi yang sama dengan kaum Kristen Eropa, yang menjadi Kristen karena agama dan ketaatan terhadap agama, namun bukan keturunan Kristen dari bani Israel yang pernah tinggal di tanah suci ataupun disekitarnya.
Selanjutnya, seperti lazimnya agama Kristen di Eropa yang sangat jauh dari ajaran Isa yang asli, begitu juga ajaran agama Yahudi yang dipeluk oleh Khazar bukanlah ajaran asli Musa

Sumber : eramuslim.com

Minggu, 01 Desember 2013

KONSEP BALANCE OF POWER


Dalam Politik Internasional, kita mengenal konsep Balance of power atau Perimbangan kekuatan/kekuasaan yang dipengaruhi oleh paham realisme, konsep ini sangat terkenal ketika dunia mempunyai beberapa pusat kekuatan selain Amerika Serikat. Kita akan mengananalisis konsep ini sejauh mana relevansinya dengan kondisi saat ini. Berikut adalah materi dari perkuliahan politik internasional. 

Deskripsi



Harus dibedakan antara balance of power yang berhubungan dengan pemerintahan kota (municipal) di satu pihak dengan sistem balance of power internasional di pihak lain.Dalam sistem nasional dan municipal, aktor-aktor politik – antara lain individu-individu, perusahaan-perusahaan, pemerintahan-pemerintahan kota, kelompok-kelompok etnis, atau rasial, partai-partai politik, persatuan-persatuan buruh dsb. – tidak otonom, karena mereka tunduk kepada otoritas pusat yang kuat dan biasanya legitimate. Sebaliknya, menurut ‘hukum-hukum’ balance of power internasional, tidak ada otorita atau kekuasaan sentral yang mengendalikan negara-negar bangsa. Regulator dalam pergaulan internasional adalah keinginan negara-negara bangsa demi keuntungan dan keaman serta kekhawatiran mereka terhadap konflik serta berbagai konsekuensinya. Sistem balance of power   menyediakan berbagai alternatif bagi para policy makers, apakah mengarah kepada perang atau berusaha menyelesaikan pertikaian melalui cara-cara yang acceptable melalui negoisasi. Sistem balance of power juga bisa dianggap berada diantara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos).  Keteraturan dunia (world order) membutuhkan suatu otoritas pusat yang cukup mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor-aktor politik.
Ketidakteraturan dunia berarti bahwa aktor-aktor politik hanya bisa dikendalikan atau dibatasi oleh hukum rimba, yaitu siapa yang kuat, cerdas, dan gesit akan berkembang dan makmur, sedangkan yang lemah dan bodoh dan pendiam akan menderita dan mati. Sistem balance of power sebagai suatu bentuk urutan kekuasaan negara-bangsa yang fleksibel dan informal yang disusun penurunan kapabilitas dan kekuasaan potensial. Sebaliknya, yang lebih kuat di antara negara-negara tadi secara informal sepakat untuk melanjutkan status quo tersebut. 

Konsep Balance Of Power
  
Ernst Haas dalam “The balance of Power: Prescription Concept, or Propaganda? Mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem the balance of power yang telah dikemukakan dalam literatur-literatur hubungan internasional yaitu:Suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otorita yang kuat, terpusat, dan legitimate yang menguasai aktor-aktor tsb.

1. Distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran, kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tadi. 
2. Distribusi kekuatan yang tidak seimbang itu bisa digunakan untuk membeda-bedakan negara ke dalam tiga kategori, yaitu: negara besar great powers), negara menengah (intermediate powers), dan negara-negara bangsa yang kecil.
3. Persaingan dan konflik yang berkesinambungan – namun terkendali – diantara aktor-aktor politik yang berdaulat tadi, dikarenakan adanya persepsi bahwa dunia merupakan sumber-sumber yang langka serta persepsi mengenai nilai-nilai lainnya. 
4. Suatu pemahaman implisit di antara para pemimpin negara-negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.  
 
Balance of power dalam Sejarah Modern
 
 

1. Antara 1648 (Perjanjian Westphali) sampai 1789 (revolusi Perancis) bisa dianggap sebagai jaman keemasan sistem balance of power klasik yang pertama.
2. 1815 – 1914, bisa dianggap sebagai jaman keemasan kedua sistem balance of power klasik. Perancis, dengan berdirinya kembali dinasti Bourbon, diijinkan tetap menduduki peringkat negara besar. Negara-negara tsb. Antara lain Inggris, Prusia, Austria – Hongaria, dan Rusia.
3. Masa dua perang dunia di abad 20, bisa dianggap sebagai abad revolusioner. Kekuatan-kekuatan yang mendestabilisasi pada abad ke 20, terutama berasal dari nasionalisme imperialis yang dirasionalisasikan dalam ideologi-ideologi yang bersifat memberantas dan eksklusivis. Pada awal abad tersebut terdapat – paling tidak – 3 macam pergerakan yaitu: Fasisme Italia dan Jerman di bawah kepemimpinan Mussolini dan Hitler, komunisme Uni Soviet dan China, serta kapitalisme perdagangan bebas pasca Perang Dunia II yang dipimpin oleh Asbeserta sekutu-sekutu utamanya.
4. Masa Perang Dingin, kedahsyatan senjata nuklir sejak perang dunia II sangat berpengaruh dalam meredam konflik Perang Dingin AS – US yang sudah diambang perang nuklir global (krisis rudal Kuba – 1962).
5. Masa Pasca Perang Dingin ?
 

Balance of Power dalam Sistem Internasional Model Kaplan

1. Model Oligopolar atau Balance of Power klasik. Sistem internasional meliputi paling tidak 5 kekuatan besar dan tidak ada organisasi regional (seperti Masyarakat Eropa) atau organisasi internasional (seperti PBB). Aliansi-aliansi dalam sistem tersebut cenderung besifat spesifik dan masa berlakunya singkat, dan aliansi-aliansi tersebut cenderung bergeser berdasarka kemajuan yang bersifat pragmatis dan bukan yang bersifat ideologis.
2. Model Bipolar Longgar. Model ini disebut juga Perang Dingin, yang mencirikan sejarah dunia sejak 1974 sampai dengan 1971. Model ini berjalan ketika sistem internasional memiliki dua superpower. Masing-masing superpower tersebut bertindak sebagai sekutu, pelindung, dan bahkan pengontrol sejumlah negara-negara yang lebih lemah yang termasuk ke dalam blok nya.
3. Model Bipolar ketat, asumsinya yang utama adalah bahwa semua negara-negara nonblok  akan terserap masuk kedalam salah satu blok. Model ini bisa diumpamakan sebagai suatu dunia yang seluruhnya dibagi oleh dua kerajaan besar, yang satu dikepalai oleh Washington, dan yang lain oleh Moscow. Dalam sistem ni kedua negara  superpower secara formal akan sepakat untuk mengurangi berbagai perbedaan yang bersifat ideologis dan bekerjasama dalam mengelola daerah masing-masing serta menjaga sistem internasional demi kepentingan masing-masing.   
4. Model Veto Unit atau Proliverasi. Sistem internasional ini melukiskan dimana banyak negara yang memiliki kapabilitas senjata nuklir, mereka gunakan untuk menghalangi politik negara lain. Model ini akan menciptakan iklim dimana masing-masing negara bisa mengancam yang lain –untuk mati bersama – apabila keinginannya tidak ditanggapi. Kesempatan untuk musnah dalam sistem ini yang diakibatkan oleh kesalahan perhitungan, irrasionalitas, sikap keras kepala dan kecelakaan adalah sangat tinggi. Karena khawatir akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan terjadinya perang nuklir akibat salah pengertian, maka negara-negara cenderung akan membatasi kontak hubungan mereka melalui sistem veto-unit. Sistem ini bisa meningkat kepada proporsi yang lebih menakutkan andaikata aktor-aktor sub-nasional memiliki senjata nuklir dan alat-alat lain yang kejam namun efektif dalam menembakkannya. Aktor-aktor tersebut antara lain adalah: teroris atau kelompok pembebasan, organisasi-organisasi kejahatan seperti mafia, perusahaan-perusahaan multinasional, minoritas etnik, atau orang-orang gila yang menginginkan terjadinya pembunuhan manusia secara besar-besaran.
5. Model Keamanan Kolektif (collective security model). Sebuah model yang ideal dengan membayangkan bahwa PBB berjalan menurut cita-cita mulia para pendirinya. Model keamanan kolektif ini memerlukan suatu sistem pengaturanyang bersifat sukarela. Dalam sistem ini kekuatan militer tidak akan diperkenankan menjadi alat kekuatan politik; tidak ada aliansi jangka pendek maupun panjang; setiap agresi yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain akan dihukum dengan sanksi-sanksi ekonomi dan militer yang ditetapkan secara kolektif oleh semua negara. Karena itu, sistem ini akan merupakan sistem yang relatif aman sepanjang masa. Dalam lingkungan dimana ada keamanan kolektif seperti itu, PBB atau penggantinya akan jauh lebih efektif dalam menyelesaikan perselisihan internasional secara damai.

Menakar Relevansi Balance of Power


Balance of power adalah salah satu teori hubungan internasional yang menekankan pada efektifitas kontrol terhadap kekuatan sebuah Negara oleh kekuatan Negara-negara lain. Trrminologi balance of power merujuk pada distribusi kapabilitas Negara pesaing maupun aliansi yang ada. Semisal, Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang memiliki perseibangan kekuatan yang sama selama masa Perang Dingin tahun 1970an-1980an. Persaingan kedua adidaya tersebut semasa itu, membentuk sebuah keberlangsungan control terhadap perseimbangan kekuatan militer internasional.
Adapun teori Balance Of Power (Keseimbangan kekuatan) memiliki asumsi dasar bahwa ketika sebuah Negara atau aliansi Negara meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif, Negara-negara yang merasa terancam akan merespon dengan meningkatkan kekuatan mereka. Hal ini dikenal dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan Jerman menjelang Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang memicu formasi koalisi anti-Jerman yang terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa Negara lain.
Signifikasi Balance of Power dalam Hubungan Internasional
Berlandas kepada teori Balance of Power, Negara hendaknya merespon ancaman yang muncul terhadap pertahanan dan keamanannya dengan jalan meningkatkan kapabilitas kekuatan militer sembari melakukan aliansi dengan Negara-negara lain. Kebijakan sebuah Negara dalam usaha membangun aliansi berbasis geo-strategi guna mempertahankan territorial dari ancaman ekspansi dikenal dengan istilah containment policy. Hal ini dapat dilihat secara kongkrit ketika Amerika Serikat menerapkan containment policy terhadap ancaman sosialisme komunis Uni Sovyet dengan melakukan aliansi dengan Negara-negara di kawasan Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Berikut juga upaya Amerika Serikat yang menginkatkan kapasitas kekuatan militer dan persenjataannya selama Perang Dingin.
Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan internasional khususnya upaya sebuah Negara yang hendak menguasai sebuah kawasan tertentu, akan dapat menstrimulir aksi counter-balancing dari satu Negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses perseimbangan kekuatan dapat mendorong terciptanya dan terjaganya stabilitas hubungan antar Negara yang beraliansi alias merasa terancam.
Terdapat dua keadaan dimana system balance of power dapat berfungsi secara efektif. Pertama, sekelompok Negara dapat membentuk perseimbangan kekuatan ketika aliansi telah mencair. Dengan begitu relative mudah untuk pecah maupun terbentuk kembali tergantung pada landasan pragmatis masing-masing Negara. Hal ini meski harus menafikkan factor nilai, agama, sejarah, hingga bahkan bentuk pemerintahan. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa bisa jadi sebuah Negara memerankan peran dominan dalam counter-balancing sebagai Inggris pada abad XVIII hingga abad XIX.
Kedua, yakni dua Negara berbeda dapat saling melakukan perseimbangan kekuatan dengan cara menyesuaikan kekuatan militer masing-masing antara yang satu dengan yang lain. Kita dapat menilik bagaimana Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang secara bersamaan melakukan peningkatan kapabilitas militer untuk saling bersaing memperoleh posisi terkuat di dunia saat Perang Dingin berlangsung.
Sebuah kelemahan telak dari konsep balance of power adalah menilai kekuatan sebuah Negara sebagai ukuran dari sebuah proses perseimbangan kekuatan. Meski dapat dikatakan secara sederhana, seperti yang dipaparkan oleh Morgenthau, penggagas teori balance of power, bahwa kekuatan nasional diukur dari ukuran geografi wilayah, populasi penduduk yang dimiliki, serta tingkat kemajuan teknologi sebuah Negara atau aliansi sebuah kekuatan. Adapun kapasistas ekonomi masih dilihat kabur oleh Morgenthau sendiri karena ekonomi diterjemahkan lebih kepada bagaimana kapabilitas militer dapat terbangun olehnya.
Relevansi Historis Balance of Power
Pada dasarnya teori balance of power memiliki relevansi historis, yang padanya Morgenthau terinspirasi. Selama periode Perang di Cina tahun 403-221 Sebelum Masehi, yakni antara lima Negara di daratan Cina yang saling bersaing kekuatan militer serta hendak saling menguasai antara satu dengan yang lain. Perang Peloponesian tahun 431-404 Sebelum Masehi juga menjadi fakta sejarah yang serupa tentang bagaimana kemunculan kekuatan Atena mengstimulir formasi koalisi Negara Kota sekitar yang terancam.
Persaingan imperium Roma dan Persia selama bertahun-tahun juga dapat menjadi alternative fakta sejarah bagaiman perseimbangan kekuatan antar dua Negara adidaya saling bersaing. Ditambah lagi dinasti Habsburg di abad XVII yang menguasai Austria dan Spanyol yang kala itu mengancam akan mendominasi daratan Eropa. Muncullah koalisi kekuatan antara Swedia, Inggris, Perancis, dan Belanda yang kemudian terlibat dalam perang 30 tahun dari 1618-1648. Koalisi tersebut kemudian mengalahkan imperium Hasburg.
Menakar Relevansi Balance of Power hari ini
Sejak runtuhnya Uni Sovyet menjadi pertanda berakhirnya Perang Dingin dengan adidaya Amerika Serikat. Merujuk kepada teori balance of power, dominasi kekuatan AS akan menstimulir munculnya koalisi baru di dunia internasional. Muncullah yang kita kenal dengan Uni Eropa, yang telah lama didirikan, namun semakin menguat pelembagaannya menjelang akhir abad XX. Berikut pula kekuatan Cina Daratan, Russia, dan Perancis.
Akan tetapi, semua kekuatan dan koalisi tersebut belum signifikan disbanding kekuatan militer AS yang begitu jauh jika hendak dibandingkan dengan lain manapun di belahan dunia. Tendensi koalisi Negara-negara Eropa lebih berwarna dan bermotivasi ekonomi. Jadi, factor kekuatan militer AS tidak menstimulir upaya perseimbangan oleh koalisi Negara-negara lain di dunia, termasuk Eropa bahkan.
Dengan begitu balance of power telah kehilangan salah satu pilar bangunan argumennya yakni bahwa kekuatan militer sebuah Negara akan direnspon balik oleh Negara atau koalisi beberapa Negara yang merasa terancam dengan kekuatan serupa. Eropa justru menerapkan mata uang regional, yang kita kenal dengan Euro, dan bukan penyatuan kekuatan regional dalam hal militer.
Secara lebih ringkas dan gambling, terdapat beberapa irrelevansi teori balance of power dalam konteks kekinian.
1    1. Kekuatan Militer bukan lagi menjadi perhatian utama Negara bangsa
Di era globalisasi multi dimensional, kecenderungan Negara bangsa berubah drastic. Kekuatan militer tidak lagi menjadi sebuah perhatian utama. Faktor geo-strategi yang dulu menjadi pertimbangan penting begitu memudar secara signifikan akibat perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Sebagai gantinya, Negara bangsa lebih memperhatikan bagaimana membangun produktifitas ekonomi dan perdagangan secara lebih terbuka. Jadi bukan lagi untuk menjadi yang terkuat secara militer, namun lebih kepada yang terkuat secara ekonomi.
      2. Kecenderungan agresif lebih kepada bidang ekonomi dan perdagangan
Kecenderungan agresif yang digambarkan oleh Balance of power tidak lagi menjadi factual di era sekarang ini. Agresifitas lebih diwarnai dengan upaya membangun pasar baru di Negara luar untuk kebutuhan distribusi barang dan ekspansi modal. Pelembagaan Uni Eropa dengan menyatukan mata uang nya menjadi Euro, merupakan sebuah indicator yang nyata. Disusul kemudian regionalisasi ekonomi kawasan-kawasan baik dalam bentuk Pasar Bebas seperti AFTA, FTA, dan lain sebagainya.
      3. Respon counter balancing sangat dipengaruhi oleh factor domestic sebuah Negara
Respon counter balancing tidak berlaku lagi. Meski untuk beberapa kasus masij terjadi seperti perselisihan perbatasan antara India dan Pakistan yang kemudia menimbulkan konstestasi persenjataan antara kedua Negara tersebut. Namun hal ini sangat kasuistik dan diwarnai oleh latar belakang sejarah yang cukup panjang. 

Referensi
 

Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, 1986, Introduction to International Relations: Power and Justice, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J, U.S.A.