Subscribe:

Selasa, 10 Juli 2012

Menguak Konspirasi Jahat AS Terhadap Menteri Kesehatan Indonesia, Tentang Virus Flu Burung (H5N1)

Soulofme.com - “Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.”
Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.
“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta.
Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. “Kegerahan” itu saya tidak tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan.”
“Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah kaya,” ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
“Saat ini banyak yang meminta, jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini saya sedang mencari dan membicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan”, ujarnya.
“Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.
Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.
“Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.
“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis The Economist.
The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.
Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO  untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.
Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.
Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO.
Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin!
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya!
Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.
Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Jejak Chemtrail di langit Jakarta

Jejak-jejak kimia berupa asap “tak alamiah” dari kondensasi pesawat berupa awan memanjang (chemical trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang juga berisi aerosol bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan.
Chemtrails sering disemprotkan di atas langit Jakarta untuk “mempersiapkan” warga Jakarta dan sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi.
 

PAPUA TARGET AMERIKA SETELAH LIBYA

Berita heboh terkini. Kasus di Libya hampir sama dengan kasus Timor Timur, dengan alasan HAM, Demokrasi dan PBB akhirnya Timor Timur Lepas dari Indonesia. Dibawah tekanan Australia, Amerika dan PBB atas nama HAM dan Demokrasi, akhirnya pemerintah BJ Habibie saat itu tidak sanggup lagi menghadapi tekanan politik yang bertubi-tubi dari para penjajah Kapitalis yang mengincar Minyak di celah Timor.
begitu juga dengan libya, dengan alasan HAM AS dan sekutunya menyerang pemerintahan Khadafi padahal ujung2nya ingin menguasai minyak di libya.

Menurut pengamat militer ibu Connie Rahakundini Bakrie skenario AS menyerang libya dan timur tengah sudah di rancang dari awal. karena semua negara tersebut terdapat sumber minyak bumi yang besar. Bahkan Ibu connie menambahi kalau sasaran AS selanjutnya adalah papua. 
Pernyataan ibu connie pada siaran tv one sabtu 26/3 2011 bukannya tanpa dasar. Kabar Papua menjadi target AS berikutnya sudah beredar di kalangan intelejen.

Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. 

Karena dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin.

Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
 Kalau RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika.

Karena itu, Departemen Luar Negeri RI haruslah siap dari sekarang untuk mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi destabilisasi di Papua. Berarti, Departemen Luar Negeri harus mulai menyadari bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai elemen di TNI maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.

campur tangan Amerika dengan skenarionya berusaha agar Papua lepas dari NKRI. Amerika tentu punya alasan agar Papua lepas dari Indonesia, Papua adalah mutiara hitam dari timur, sebuah tanah yang kaya raya, dengan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya serta kandungan emas di bukit Freeport yang melimpah membuat para Kapitalis penajajah serakah ngiler dibuatnya.

Padahal kalau kita tahu pembagian royalty freeport indonesia hanya mendapat 1 %, sedangkan asing mendapat 99%.

sungguh lucu yah..
masa tukang cangkul hasilnya jauh lebih banyak dari yang punya tanah.

Alasan utama yang menjadi isu pemisahan Papua dari NKRI adalah Kemiskinan, pemerintah Indonesia yang tidak mampu mengentaskan kemiskinan di Papua menyebabkan isu-isu sparatis berkembang.

Kemiskinan Papua adalah salah satu akibat dari sistem Kapitalisme yang diterpakan di Indonesia, emas Papua yang seharusnya mampu memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh Freeport dan perusahaan asing milik Kapitalis Penjajah.
Isu-isu HAM dan Demokrasilah yang sedang dikembangkan oleh Amerika Serikat agar Papua bisa lepas dari NKRI, dengan isu ini diharpakan akan terjadi referendum bagi tanah Papua. Yang selanjutnya mengantarkan Papua ke arah pemisahan diri dari NKRI.

BAHAYA DIBALIK E-KTP




Rasanya baru beberapa minggu Masyarakat kota Tasikmalaya menjalankan program e-ktp. Sayapun demikian meskipun telat beberapa hari dari waktu yang dijadwalkan karena alasan sedang kuliah diluar Tasik. Akhirnya saya pun ikut mengatri berdasarkan nomor urut yang tertera. Lucunya disaat mengantri aja masih ada yang korupsi antrean mentang mentang kenal dengan si pemanggil nomor urut terlebih lagi orang kaya. Well, tapi saya gak akan membahas itu. Kali ini tentang bahaya dari e-ktp sendiri karena ada pemeriksaan sidik jari dan retina segala. Ada apa dibalik semua ini? pertanyaan itupun terus berputar-putar di benak saya saat menunggu antrian.
Pernahkah anda berfikir, kalau data-data pribadi kita yang tersimpan dalam e-KTP disimpan di mana? Apakah database di tingkat kelurahan dan kecamatan cukup aman menyimpan data pribadi kita?

Perlu diingat, yang tercantum dalam e-KTP bukan hanya data pribadi semata, tapi biometrik kita, sidik jari kita, intinya, jati diri kita seutuhnya ada dalam e-KTP. Mengutip kicauan Sekjen ICT Watch Donny BU dalam twitter-nya, dengan data biometrik, ilmu yang berkembang memungkinkan kita tau seseorang itu sakit apa, apa kelemahannya, bagaimana potensi dirinya, dll.
Salah satu yang mengusik pikiran saya selama ini ialah kemiripan e-KTP beserta chip di dalamnya dengan program The RFID Chip 666 sebagai alat kontrol zionisme yang dimasukkan ke dalam permukaan kulit manusia. Dasar pengembangan RFID untuk manusia adalah sebuah sistem yang disebut SmartCard yang memiliki microchip lithium yang berfungsi membaca data riwayat seseorang yang berhubungan secara elektronik ke pusat data pemerintah seperti informasi kesehatan, data pajak, dan jumlah tabungan serta identitas pribadi lainnya
Tujuannya sederhana, Zionis ingin melakukan kontrolisasi dan pendataan pergerakan manusia-manusia yang telah mereka incar. Dengan dimasukkannya chip ke dalam tubuh manusia, hal itu akan memudahkan mereka untuk memastikan target yang mereka incar berada dalam sebuah pengawasan “Sang mata satu”.
RFID sendiri atau Radio Frequency Identification digunakan untuk menyimpan atau menerima data secara jarak jauh dengan menggunakan suatu piranti yang bernama RFID tag atau transponder. RFID tag adalah sebuah benda kecil (sebesar biji beras) yang dapat ditempelkan pada suatu barang atau produk. Hebatnya meski kecil, RFID tag berisi antena yang memungkinkan mereka untuk menerima dan merespon terhadap suatu query (semacam kemampuan untuk menampilkan suatu data dari database) yang dipancarkan oleh suatu RFID transceiver.
Jadi… relakah personal diri kita dan kondisi biologis kita (via biometrik) diserahkan via e-KTP kepada pihak yang kita tidak tahu siapa mereka? Data e-KTP bisa dengan mudahnya berpindah ke mana-mana, baik lewat email, flash disk, atau pun lewat jaringan Internet global bisa berpindah tangan dengan cepatnya hanya dalam hitungan sepersekian detik. Entah diterima siapa pun, termasuk yang tidak berhak atau tanpa otorisasi.
Ngerinya, akan sangat mudah bagi siapapun yang punya keterampilamn cukup, untuk mengekstrak data personal kita, apalagi jika penyimpanan database-nya tidak jelas. Kalau sudah begitu, siapa yang menjamin keamanan kita? Kemendagri-kah? DPR-kah, atau Pak SBY?
Dan parahnya, di Indonesia tak hanya masyarakatnya yang cuek dengan data privasi, tetapi juga pemerintahnya. Hingga saat ini, pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sedang berlangsung. Sosialisasi proyek berbiaya Rp5,84 triliun itu terus digalakkan.
Salah satu manfaat yang menjadi ‘jualan’ pemerintah adalah, e-KTP akan mampu berkontribusi bagi keamanan nasional, khususnya dalam menekan ruang gerak terorisme. Dengan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), identitas palsu diklaim akan segera dapat diketahui karena tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut masih menjadi perdebatan, karena di era teknologi informasi yang semakin canggih, data keamanan nasional tingkat tinggi sekalipun rentan terhadap aktivitas para peretas dan pencuri data. Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh.
Namun pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perlu diketahui, L-1, yang berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Stanford Washington Research Group, dalam laporannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar selama periode 2006-2011. L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan SIM.
Dari sekelumit tulisan di atas, sangat memungkinkan apabila data pribadi kita dikutip oleh negara lain. Apabila hal itu sudah terjadi, kemana lagi kita bisa bersembunyi? Karena setiap jengkal tubuh kita bisa diawasi dari jarak jauh sekalipun.
 Dan Saat ini e-KTP telah mulai meluas digunakan di hampir seluruh negara anggota Uni Eropa dan beberapa negara Asia seperti China dan India. Akankah ini betul-betul menuju sebuah tatanan yang satu, maksud yang satu, dan arah yang satu yakni sebuah tatanan dunia baru yang lazim disebut New Wolrd Order. Kita harus jeli dan terus waspada. Awasi terus program e-KTP.

Sumber; Solopos.com