Subscribe:

Sabtu, 02 Maret 2013

KONFLIK FREEPORT


INTELIJEN.co.id - Asap hitam membubung di langit Timika, papua. Penerbangan dari dan menuju Bandara Mozes Kilangin Timika pun  terganggu. Asap hitam itu, berasal dari tiga mobil kontainer yang dibakar massa di ruas jalan dari Pelabuhan Portsite menuju Tembagapura, tepatnya di Mil 28 samping Bandara Mozes Kilangin Timika dan di Terminal Bus Gorong-gorong Timika.

Bandara Mozes Kilangin dan Terminal Bus Gorong-gorong, merupakan fasilitas dan jalur utama transportasi menuju lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura.

Di lokasi itu, pada Senin 10 Oktober 2011, terjadi insiden berdarah. Ribuan karyawan PT Freeport Indonesia dan kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat wilayah tambang yang sedang melakukan aksi massa, bentrok dengan aparat keamanan.

Massa yang datang dengan konvoi jalan kaki dari Sekretariat SPSI PT Freeport di Jalan Perintis Kemerdekaan Timika Indah, bermaksud naik ke lokasi tambang melalui Terminal Gorong-gorong. Tujuan mereka adalah untuk menghentikan sementara waktu operasional perusahaan.

Aksi massa terhenti di pintu masuk Terminal Gorong-gorong. Pihak manajemen yang dibantu aparat keamanan menghadang mereka. Aksi kemudian memanas dan terjadilah bentrokan yang mengakibatkan seorang karyawan PT Freeport peserta aksi, Piter Ayami Seba, tertembak aparat keamanan dan meninggal. Beberapa orang lainnya, baik dari pihak karyawan maupun aparat, mengalami luka-luka. Massa yang marah, akhirnya membakar tiga mobil kontainer milik perusahaan dan memblokir ruas jalan Mil 28.

Hingga saat ini, aksi pemblokiran di ruas jalan yang menjadi akses utama menuju lokasi pertambangan Freeport di Tembagapura tersebut, diberitakan masih terus berlangsung. Pihak perusahaan, seperti disampaikan Presiden Direktur & CEO PT Freeport Indonesia, Armando Mahler, di Timika, mengimbau agar aksi pemblokiran segera dibuka. Sebab, menurutnya, pemblokiran akan dapat menghambat suplai logistik, makanan dan obat-obatan termasuk bahan bakar untuk pesawat dari Pelabuhan Porsite Amamapare ke Timika dan Tembagapura.

Melalui videoconference yang disiarkan kantor PT Freeport di Jakarta, juga digambarkan kondisi karyawan di dalam lokasi pertambangan yang terblokir. Mereka, seperti disiarkan dalam videoconfence, merasa sangat tertekan.

Aparat keamanan juga terus melakukan negosiasi, agar pemblokiran dibuka. Tim Asistensi dari Mabes Polri, yang diketuai oleh Brigjen Pol Paulus Waterpauw ikut turun tangan melakukan pendekatan terhadap kelompok masyarakat yang memblokir.

Buntut Konflik

Insiden berdarah di Trerminal Gorong-gorong Timika, dapat dikatakan sebagai buntut konflik antara karyawan dan manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut, yang tak kunjung terseleseikan.

Sejak sekitar April lalu, mencuat tuntutan sebagian karyawan PT Freeport. Melalui SPSI perusahaan ini, para karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan kepada pihak manajemen. Selain itu para karyawan, yang sebagian besar merupakan warga Papua, meminta lahan hak ulayat.

Sampai beberapa bulan, pihak manajemen PT Freeport belum memberikan tanggapan. Maka, sejak tanggal 15 September ribuan karyawan yang diorganisasi SPSI perusahaan ini, melakukan aksi mogok kerja di Timika.

Konflik antara karyawan dan manajemen PT Freeport yang meruncing ini, mendorong pihak ahli waris pemilik hak ulayat atas lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura hingga Grasberg (Bug Negel) terlibat menyeleseikan. Pada 23 September, Bug Negel, Silas Natkime, mengirimkan surat kesediaan memfasilitasi penyeleseian konflik kepada pemegang saham PT Freeport McMoRan Copper & Gold, James R. Moffet, di New Orleans Amerika Serikat.

Silas adalah putra kandung Tuarek Natkime selaku pemilik ulayat atas areal pertambangan PT Freeport di Tembagapura, Mimika, Papua. Ia mengatakan, sangat prihatin dengan masalah yang saat ini terjadi di lingkungan PT Freeport dan tidak menginginkan aset dan lambang perusahaan tambang ini dihancurkan.

Tidak hanya pihak ahli waris tanah ulayat, konflik Freeport bahkan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua mengeluarkan rekomendasi atas konflik yang tak kunjung selesei. Lembaga perwakilan resmi rakyat dan kelompok adat di Papua ini, dalam pertemuannya pada 7 Oktober di Jayapura, meminta PT Freeport untuk menghentikan sementara operasionalnya sampai ada penyeleseian konfliknya dengan karyawan.

Rekomendasi itulah yang menjadi salah satu dasar karyawan dalam melakukan aksi pada 10 Oktober, karena dikabarkan PT Freeport terus melakukan operasional perusahaannya, bahkan dengan mendatangkan tenaga-tenaga baru dari luar Papua.

Penembakan
Beberapa hari setelah insiden berdarah di Terminal Gorong-gorong, muncul insiden lain, juga di lokasi PT Freeport. Sebuah mobil milik Departemen Manajemen Keamanan dan Resiko Manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini, dikabarkan ditembak orang tak dikenal.

Insiden Penembakan terjadi di Mil 37 ruas jalan Tanggul Timur menuju Kampung Nayaro, Mimika, Papua pada Jumat, 14 Oktober 2011, sekitar siang hari. Tiga orang karyawan perusahaan kontraktor PT Freeport dikabarkan meninggal. Sedangkan dua orang petugas keamanan dikabarkan terluka tembak.

Pihak PT Freeport Indonesia, membenarkan terjadinya insiden penembakan tersebut dan meminta pihak aparat berwenang mengusut tuntas kasus itu. Pihak perusahaan menyebut kasus penembakan yang sudah beberapa kali terjadi di lokasi pertambangan ini, sebagai bentuk teror.

Dalam pencermatan PT Freeport, sejak 8 Juli 2009, insiden penembakan sudah menyebabkan 8 orang meninggal dan sekitar 40 orang lainnya luka-luka, dari karyawan PT Freeport maupun perusahaan kontraktornya. Dan, selama dua tahun tersebut, pelaku penembakan disebutkan belum terungkap.

Renegosiasi

Meruncing dan belum adanya tanda-tanda penyeleseian konflik antara karyawan dan manajemen PT
Freeport Indonesia, memang memunculkan tanda tanya. Beberapa pernyataan dari pihak perusahaan ini, memang terlihat masih keberatan dengan tuntutan karyawan.

Tuntutan menanaikkan kesejahteraan karyawan dan permintaan hak lahan tanah ulayat oleh sebagian kelompok masyarakat Papua, dirasa akan berpengaruh besar terhadap biaya produksi perusahaan yang sudah beroperasi selama lima dasawarsa di Papua tersebut. Pihak Freeport juga menyatakan akan menindak tegas karyawannya yang menghalangi karyawan lain untuk terus bekerja.

Hanya saja, terkait tuntutan lahan tanah hak ulayat, secara tidak langsung sudah dapat diredam. Hal ini terlihat dari pernyataan Bug Negel, Silas Natkime, setelah terjadinya insiden berdarah. Silas meminta kepada kelompok-kelompok masyarakat lain (tujuh kelompok sempat disebutkan terlibat dalam aksi 10 Oktober) untuk tidak terlibat dalam konflik Freeport. Menurutnya, konflik Freeport, murni terjadi antara SPSI dan manajemen.

Menarik juga untuk dicermati, bahwa muncuatnya konflik ini, seiring dengan adanya usaha renegosiasi kontrak-kontrak tambang di Indonesia. Seperti diketahui, saat ini Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan adanya negosiasi ulang kontrak tambang untuk lebih memberikan keuntungan kepada negara.

Renegosiasi menurut Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite, setidaknya mencakup beberapa hal. Diantaranya, luas wilayah, royalti, divestasi, jasa nasional, dan jangka waktu.

Untuk royalti, misalnya, pemerintah, menginginkan agar renegosiasi bisa mendorong perusahaan tambang membayarnya dengan benar. Berdasarkan PP Nomer 13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. Selain itu juga ada Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 2003 mengenai Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sejauh ini, menurut Thamrin, usaha renegosiasi tersebut, sudah menjadi komitmen sekitar 65 persen perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Hanya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, hingga kini belum mau mengeluarkan komitmen renegosiasi yang sedang diusahakan pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar