Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juli 2014

Indonesia: Foreign Policy Under Jokowi and Prabowo



How would the country’s foreign policy change under the two leading candidates for the presidency?

A new report in People’s Daily interviewed five Chinese experts on Internet security and political thought, including Fang Binxing (credited with creating China’s “Great Firewall”). The report focuses on the idea of “Internet sovereignty” — the idea that each country has the right to control its domestic internet space. Yet by moving from a discussion of China’s rights to talk of international law, the report moves beyond a defense of China’s internet censorship to outlining China’s vision for global internet governance.
The idea of China’s “Internet sovereignty” is a high-profile resurrection of a concept first rolled out in a 2010 white paper called “The Internet in China.” The white paper explained the “Internet sovereignty of China” as meaning that “within Chinese territory the Internet is under the jurisdiction of Chinese sovereignty.” All persons and organizations operating within Chinese territory are expected to follow China’s Internet laws and regulations, the white paper said.
In an interview with New Yorker’s Evan Osnos at the time, Columbia University professor Tim Wu noted that China’s idea of “Internet sovereignty” was simply “a statement of private international law as typically practiced.” Most countries, Wu noted, have decided that the Internet is subject to national laws. The difference between China and the rest of the world, according to Wu, was simply one of scale: “Other countries, if they don’t consider the Internet sovereign, have a certain respect for the network as a platform for free speech … Again this varies from place to place, but China is unique in its lack of respect for the idea of an open Internet.”
Thus, among China’s rules and regulations for the Internet are typical prohibitions against “divulging state secrets” and “subverting state power” as well as more unique bans on “damaging state honor,” “propagating heretical or superstitious ideas,” “spreading rumors [and] disrupting social order and stability.” These rules were lumped into the category of “internet security,” equating these actions to hacking and other forms of cyber crime.
The People’s Daily article seeks to argue not only that China has the right to set up its own rules and regulations for the Internet, but that an international consensus should be reached to recognize this right. The article begins by noting that, in the Internet age, China now has “information borders” in addition to traditional sovereignty over land, air, and sea. The report argues that each country has a right to strengthen control over its own domestic Internet, and that such actions will help safeguard order and stability on the global Internet system.
In the interview with People’s Daily, Fang Binxing pointed to a 2013 report from a UN-commissioned group of experts on information security. That report noted that “state sovereignty and international norms and principles that flow from sovereignty apply to State conduct of ICT [information and communication technologies]-related activities, and to their jurisdiction over ICT infrastructure within their territory.” Fang argued that this statement proves the UN has already accepted China’s idea of “Internet sovereignty.”
Fang made no mention of the next item in the UN report, which requires that “state efforts to address the security of ICTs must go hand-in-hand with respect for human rights and fundamental freedom set forth in the Universal Declaration of Human Rights.” The juxtaposition of these two points in the UN report outlines the basic difference between China’s concept of the Internet and the Western concept: is cyberspace entirely made up of domestic spheres, each under a different country’s sovereign rule, or is the Internet as a whole subject to international rule in the name of “universal values”? People’s Daily argues for the former approach.
The next expert interviewed, Wang Jun of Minzu University’s Marxism school, acknowledges the difficulty of defining boundaries for cyberspace, but offers some suggestions. “Although cyberspace has no national boundaries, network infrastructure has borders. Internet users have home countries. Internet companies and organizations always belong to a specific country.” Thus Wang suggests that each country can control these physical aspects of cyber space and “other countries have no right to interfere.”
Yet even while holding that “Internet sovereignty” is immune to external interference, the People’s Daily article acknowledged the importance of international consensus on defining cyberspace boundaries and rules of conduct. Currently, disagreements between countries are a major barrier to defining boundaries and implementing control of cyberspace, Wang Xiaofeng of Fudan University’s Center for America Studies said. Lang Ping of the Chinese Academy of Social Sciences noted that no country can independently face the challenges posed by cyberspace.
Lang and Wang also see a competition among major powers for influence in cyberspace. Wang said that “some countries” (almost certainly a reference to the U.S.) are “abusing” their technological advantages to conduct cyber-espionage and cyber-attacks. Later, both Fang and Lang explicitly complained that the United States has an outsized role in controlling cyberspace due to its technological prowess. The experts generally agreed on a need for international dialogue and consensus on clear boundaries and rules for Internet control.
China’s goal for this dialogue would be to codify its own interpretation of “Internet sovereignty” into international law, much as Western countries have been able to codify their idea of “universal values.” The People’s Daily article sees cyberspace as a contested zone where the U.S. wields too much influence; it seeks to combat this by pushing for international consensus modeled on its own vision for the Internet.

sumber : thediplomatmagazine.com

Sabtu, 14 Juni 2014

Hasil Pemilu Suriah dan Hipokritas Barat

 

Media Barat (dan media nasional serta media takfiri Indonesia) beramai-ramai menyebut hasil pilpres Suriah tidak sah. Benarkah demikian? Tulisan berikut ini mengkritisi hal tersebut. Saya sarikan dari tulisan Thierry Mayssan (jurnalis independen asal Prancis).

Lelucon London Group

Selama beberapa bulan terakhir, 11 negara anggota yang tersisa dari London Group (sebelumnya dikenal sebagai “Friends of Syria” yang beranggotakan 114 negara) mengecam pemilihan presiden (pilpres) Suriah 3 Juni sebagai “lelucon”. Menurut mereka , di satu sisi akan menggelikan untuk menyelenggarakan pemilihan di negara diganggu oleh “perang saudara”, di sisi lain, Presiden keluar Bashar al-Assad adalah seorang tiran, yang menggunakan penyiksaan besar-besaran dan pemboman rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, kata London Group, pilpres Suriah tidak sah.

Namun, demonstrasi besar-besaran di Libanon dan Yordania, yang dihadiri para pengungsi Suriah, untuk menyatakan dukungan pada Assad dan pilpres, membuat justru pernyataan London Group yang menjadi lelucon.

Media-media mainstream (dan media Islam takfiri) selalu menyebut orang-orang Suriah di luar negeri sebagai massa yang melarikan diri dari “represi politik Assad.” Namun, kehadiran masif mereka dalam pilpres di TPU-TPU luar negeri membuktikan bahwa mereka telah melarikan diri dari kejahatan tentara bayaran asing yang menyerang negara mereka. Lebih dari 250.000 tentara bayaran (yang menamakan diri sebagai ‘mujahidin’) telah membanjiri Suriah selama 3 tahun terakhir, menghancurleburkan negara itu.

Republik Suriah sejak 2012 berusaha mengikuti standar-standar demokrasi Barat dengan teliti. Parlemen mengadopsi aturan-aturan pemilu ala Barat, termasuk hak para kandidat untuk kampanye di koran dan televisi, serta menjamin keselamatan para kandidat. Suriah pun telah meninggalkan sistem satu partai dan beralih menjadi sistem multipartai. Pergantian sistem ini dilakukan sejak disahkannya konstitusi baru Suriah tanggal 26 Februari 2012.

Sejak November 2011 pun, Republik Suriah telah membuka pintu bagi kehadiran wartawan Barat. Lebih dari 360 media internasional yang terakreditasi, dengan kebebasan penuh, bergerak di seluruh negeri, meskipun dalam kondisi perang. Artinya, sesungguhnya proses transisi politik di Suriah bisa diliput dengan baik oleh wartawan. Namun, lagi-lagi, media mainstream (dan media Islam takfiri) selalu memutarbalikkan fakta.

Hipokritas London Group
Menurut London Group (LG), adalah tidak mungkin mengadakan pilpres dalam kondisi perang. Padahal, negara-negara anggota LG baru-baru ini mengakui hasil pilpres di Afghanistan dan Ukraina. Anggota LG adalah Mesir, Prancis, Jerman, Italia, Jordan, Qatar, Saudi Arabia, Turki, the Uni Emirat Arab, Inggris, dan AS.

Di Afghanistan, pada tanggal 5 April, putaran pertama pilpres berlangsung di bawah pengawasan tentara NATO. Satu dari tiap tiga orang yang punya hak pilih di Afghan berada di luar negeri, tapi bisa memilih dari luar negeri. Mengingat tingkat abstain adalah 67%, artinya presiden yang terpilih hanya mendapat suara dari 16,5%.

Di Ukraina, jumlah pemilih yang hadir pada 25 Mei adalah 60%. Tapi pemerintah hasil kudeta tidak menghitung pemilih Krimea, meskipun mereka menyatakan bahwa Krimea adalah bagian dari negara Ukraina. Presiden terpilih Poroshenko mendapatkan 54% suara yang diberikan. Namun, jika dihitung dari total jumlah rakyat dengan hak pilih, sejatinya dia hanya meraih 27% .

Selain itu, bagaimana dengan pemilu di Eropa sendiri? Dalam pemilihan Parlemen Eropa terakhir (25 Mei), tingkat partisipasi sangat rendah (hanya 13% di Republik Ceko). Namun, pemilu di negara-negara itu tetap dianggap “demokratis”. Bertolak belakang dari ‘standar’ yang mereka tetapkan untuk Suriah.

Peran Media Mainstream dalam Menyulut Perang Suriah (2011-2012)
Perang melawan Suriah yang dimulai pada tahun 2011 bisa dikategorikan sebagai “perang generasi ke-4”. Dalam perang model ini, LG dan NATO menyulut perang tidak secara langsung mengirim senjata dan pasukan, melainkan dengan menakut-nakuti rakyat Suriah agar tidak membela negara mereka sendiri (padahal sudah diserang pasukan asing bayaran).

LG dan NATO melakukannya melalui media mainstream (Al-Arabiya, Al-Jazeera, BBC, CNN, France24, Sky) dan di-broadcast ulang secara masif oleh media-media Islam takfiri. Pemberitaan yang dilakukan bertujuan menyeret opini publik agar percaya bahwa negara mereka berada dalam cengkeraman “revolusi” dan pemerintah mereka akan pasti akan digulingkan. Rencana mereka, perang akan mencapai puncaknya pada awal 2012 dengan berita palsu dari kantor berita Suriah (mereka memalsukan saluran televisi nasional), mengenai kaburnya Presiden Assad ke luar negeri dan dan pembentukan sebuah “pemerintah transisi.” Namun rencana ini gagal dilakukan.

Lalu, Perancis, Israel, tim perang Obama (Hillary Clinton, David Petraeus, James Stavridis) meluncurkan perang dalam bentuk lain. Kali ini metode yang dipakai adalah menyerang Suriah dengan kekuatan non-negara (non-state force), serupa dengan model Condottieri pada era Renaissance atau model Contras di Nikaragua. LG pun mendanai dan memfasilitasi dikirimnya ‘mujahidin’ dari berbagai penjuru dunia. Mereka adalah orang-orang yang mengaku Muslim dan merasa sedang melakukan perang suci (jihad).

Selama periode kedua ini, media mainstream (dan media Islam takfiri) melanjutkan upaya mereka untuk membelokkan opini publik: seolah-olah ada revolusi melawan kediktatoran yang kejam. Namun upaya mereka tetap gagal, karena justru rakyat Suriah berdemo besar-besaran mendukung Assad.

Strategi Media Mainstream dalam ‘Menampar’ Assad dalam Pilpres 2014

Menjelang pemilu, media mainstream (dan media Islam takfiri) menggunakan beberapa argumen untuk mendiskreditkan proses pemilu. Antara lain:
-”Hasilnya diketahui sebelumnya,” tulis mereka. Memang, tidak ada keraguan bahwa Bashar al-Assad, akan terpilih kembali. Indikasi dukungan rakyat Suriah yang sudah lelah selama tiga tahun diserang oleh tentara bayaran asing, sudah sangat jelas. Namun, media mainstream menulis pernyataan ini untuk memunculkan opini bahwa pemilu tidak akan adil.

Jika saja orang Eropa mau mengingat apa yang terjadi di Eropa pada akhir PD II, mereka akan melihat bahwa situasi saat itu mirip Suriah hari ini. Pada tanggal 26 Agustus 1944, Presiden Pemerintahan Sementara Republik Perancis (GPRF), yang didirikan di Aljir beberapa hari sebelum invasi Normandia, Jenderal Charles De Gaulle, memasuki Champs-Elysees dikawal oleh orang yang tak terhitung banyaknya. Saat itu bahkan tidak ada pemilu. De Gaulle dianggap sah begitu saja sebagai presiden oleh rakyat Prancis karena dia diyakini mampu memimpin perang untuk membela rakyat. Inilah yang terjadi di Suriah. Melalui pilpres, mayoritas rakyat Suriah kembali memilih Assad karena yakin bahwa hanya Assad yang mampu memimpin mereka untuk mencapai kemenangan melawan tentara bayaran asing.

-”Dua calon lainnya hanya antek,” tulis mereka, dengan tujuan menciptakan opini bahwa adanya tiga kandidat pilpres Suriah hanya sandiwara.

Tuduhan ini terbantahkan dengan mudah oleh tingginya tingkat partisipasi rakyat. Bahkan dalam situasi perang pun, di mana sebagian wilayahnya diduduki oleh setidaknya 90.000 tentara bayaran asing; bahkan meskipun Koalisi Nasional Suriah (oposisi Suriah yang bermarkas di luar negeri) menyerukan boikot, 73,42% rakyat Suriah yang punya hak pilih tetap hadir dalam pilpres.

Sebagai perbandingan, tingginya kehadiran pemilih di pilpres Suriah lebih baik daripada semua pemilu di Perancis sejak tahun 1979 (pemilu parlemen, walikota, dll). Memang, khusus untuk pilpres, tingkat partisipasi Prancis lebih tinggi, yaitu 80,34%, namun harus diingat bahwa Prancis adalah negara damai dan makmur.

-”Negara ini sebagian besar hancur dan terjadi pengeboman terus-menerus,” tulis mereka, untuk meyakinkan pemilu tidak mungkin berjalan baik. Bahkan AFP menulis, pemerintah hanya menguasai 40% wilayah negara dan hanya melindungi 60% dari populasi.

Angka yang ditulis AFP ini imajiner, mengingat tingkat partisipasi lebih dari 60%. Kontrol Tentara Arab Suriah jauh lebih luas karena telah berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah pantai. Tentara bayaran masih ada di perbatasan Turki dan di beberapa kantung. Distrik Damaskus adalah 18 000 km2 dan hanya 75 km2 yang diduduki tentara bayaran. Tetapi AFP menyebut bahwa seluruh wilayah ada di tangan “revolusioner”.

Selain itu, meski di beberapa daerah Tentara Arab Suriah tidak hadir, pejabat negara selalu hadir. Misalnya, wilayah berpenduduk Kurdi. Tidak ada tentara Suriah di sana, namun pasukan lokal melindungi keselamatan warga sambil tetap mengakui Republik Suriah. Warga Kurdi pun ikut serta dalam pilpres.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan:
1. Isu kediktatoran Assad adalah imajinasi media mainstream.
Tidak ada bangsa di dunia yang mau memilih seorang diktator. Partai Nazi Jerman tidak pernah mendapat lebih dari 43,9% suara (Maret 1933) dan mereka pun langsung membubarkan sistem pemilu multipartai.

2. Koalisi Nasional Suriah tidak mewakili rakyat Suriah.
Warga Suriah yang berada di dalam negara mereka tentu saja lebih tahu apa yang terjadi di rumah daripada orang-orang elit Suriah yang bergabung di Koalisi Nasional, yang sebagian besar telah tinggal di luar negeri selama sedikitnya dua puluh tahun terakhir. Koalisi diciptakan oleh Perancis dan sekarang dikuasai oleh Arab Saudi, setelah sebelumnya dikendalikan Qatar. Koalisi ini oleh London Group diakui sebagai “satu-satunya wakil rakyat Suriah”. Buktinya, meskipun koalisi menyerukan boikot, hanya 26,58% dari pemilih yang terdaftar, yang tidak hadir dalam pilpres, dan jumlah ini adalah mereka yang berada di wilayah-wilayah yang masih diduduki tentara bayaran asing. (Disarikan dari artikel Thierry Meyssan di voltairenet.org, oleh Dina Y. Sulaeman)

Minggu, 06 April 2014

MERUBAH PARADIGMA PULAU TERLUAR MENJADI PULAU TERDEPAN MELALUI PERAN SWASTA DALAM INVESTASI PARIWISATA



Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau yang beberapa diantaranya merupakan pulau-pulau yang berbatasan dengan negara tetangga atau dapat disebut dengan pulau perbatasan atau pulau terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005, Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang  berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sebagai negara yang terdiri atas ribuan pulau, persoalan pengawasan daerah perbatasan bukan hal mudah. 

Kasus hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia pada 2004 serta beberapa kasus lainnya seharusnya tidak lagi dilihat sebagai persoalan kedaulatan teritorial, keamanan, atau sentimen nasionalisme semata. Lebih dari itu, aspek yang perlu menjadi pertimbangan utama adalah hilangnya potensi ekonomi karena kurangnya pengelolaan dan pengawasan pada pulau tersebut. Peluang Potensi Ekonomi itu salah satunya pariwisata melalui kebebasan investasi swasta. Dengan dikelolaan oleh pihak swasta akan memberikan dampak yang maksimal dibanding dikelola oleh pihak pemerintah yang setengah-setengah sehingga mampu mewujudkan perubahan secara cepat dan menyeluruh. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai penting dan besarnya kontribusi peran Swasta di masa depan dalam mengelola pulau terdepan disaat ketidakberdayaan dan kurang maksimalnya peran pemerintah pusat maupun daerah selama ini, melalui metode analisis deskriftif. 

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, bahwa dengan memberikan kebebasan pada swasta untuk mengelola pulau terluar akan menciptakan trickle down effect (efek rambatan) dalam kegiatan ekonomi yang berimplikasi positif pada sosial, politik dan pertahanan. Dimana ketika pihak swasta mulai mengelola maka dapat memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mendorong kreatifitas masyarakat setempat untuk meningkatkan aktivitas ekonomi, pemeliharaan fasilitas secara intensif, pengelolaan wilayah secara maksimal, merubah cara pandang masyarakat setempat menjadi positif pada pemerintah dengan regulasi yang adil, tepat, tegas serta koordinatif antara pemerintahan pusat dan daerah dalam pengawasan tentunya tanpa mengabaikan pendekatan keamanan. Dengan begitu, pulau terluar sangat  diperhatikan karena telah menjadi halaman depan yang mampu menarik wisatawan sehingga paradigma pulau terluar terganti menjadi pulau terdepan bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia.
Kata kunci : Paradigma, Peran swasta, Investasi pariwisata.

Rabu, 24 Juli 2013

The Federal Reserve: Bank Sentral Amerika Serikat

 
Overview
Federal Reserve System (juga dikenal sebagai Federal Reserve atau disebut juga The Fed) adalah sebutan untuk  Bank Sentral Amerika. Berdiri pada tahun 1913 berdasar Undang-undang Federal Reserve, dimana dildalamnya terdapat sistem perbankan yudisial (setengah swasta dan setengah lagi pemerintah) yang didukung pejabat kepresidenan melalui Dewan Gubernur FED di Washington, D.C. 

Federal Open Market Committee
Terdapat 12 kantor perwakilan Fed yang tersebar dikota-kota utama yang merupakan agen fiskal di AS, yang masing-masing kantor perwakilan terdapat 9 anggota Dewan
FOMC juga merupakan sebuah pertemuan terbesar pejabat Fed, yang didalam pertemuan tersebut juga melaporkan posisi keuangan Fed. FOMC juga merupakan Dewan Penasihat keuangan negara.

Data Fakta the Fed
Kantor Pusat : Washington, D.C.
Ketua : Ben Bernanke
Bank Sentral : Amerika
Currency : U.S. dollar
Code ISO 4217 : USD
Suku Bunga Pinjaman : 3,0% (Maret 2008)
Suku Bunga Tabungan & Deposito : 3,5% (Maret 2008)
Website : http://federalreserve.gov
 
Sejarah dari the Fed
Pada tahun 1863 pemerintah AS dalam usahanya dalam mengatasi krisis keuangan seusai perang sipil, membuat sebuah Undang-undang perbankan yang diberi nama National Currency Act. Standarisasi ini mengacu pada Bank Sentral AS kala itu mengeluarkan obligasi pemerintah. Pada umumnya setiap Bank Sentral diseluruh negara mempunyai dua masalah utama yaitu nilai mata uang yang inelastis dan tidak liquid-nya uang yang beredar. Selama 4 bulan terakhir pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, perekonomian AS dilanda kepanikan. Peristiwa kepanikan terbesar adalah pada tahun 1907 dimana pemerintah dituntut untuk merevisi undang-undang tentang nilai mata uang dan tingkat permintaan akan uang. Pada tahun berikutnya Kongres membuat Undang-Undang Aldrich-Vreeland Act yang didalamnya terdapat sistem keuangan darurat dan mendirikan National Monetary  Commission sebagai pusat perbankan dan reformasi keuangan.

Undang-undang Fed
Ketua dari National Monetary Commission (yang didukung oleh dua partai politik lokal) adalah seorang yang ahli yang juga merupakan pemimpin Republik Senat Nelson Aldrich. Aldrich membentuk dua buah  komisi - yang pertama adalah Sistem Moneter Amerika dan yang kedua adalah Sistem Bank Sentral Eropa yang dikepalai oleh Aldrich sendiri. Aldrich pergi ke Eropa yang sistem moneternya bertentangan dengan sistem bank sentral Amerika, untuk mempelajari Bank Sentral Jerman yang pulih dan yang percaya bahwa penerbitan obligasi pemerintah merupakan salah satu obat mujarab dari pemulihan ekonomi. Sistem bank Sentral AS kala itu banyak ditentang oleh politikus yang curiga bahwa Aldrich melakukan penipuan terhadap JP Morgan (seorang bankir kaya pada saat itu). Anak JP Morgan juga menikah dengan John D. Rockefeller, Jr.
Aldrich melakukan perlawanan terhadap bank swata dengan sedikit mempengaruhi pemerintah, tapi dia juga menerima keputusan Dewan Gubernur kala itu. Banyak orang Republik dan para Bankir mendukung rencana Aldrich, meski ada juga yang terang-terangan tidak mendukungnya seperti anggota Kongres. Malahan, Partai Demokrat Progresif secara frontal mendukung sistem penyimpanan individu yang diawasi pemerintah dengan sistem "kepercayaan akan uang (money trust)" yang dibantu oleh Wall Street dalam proses pengawasan dalam persediaan keuangan. Partai Demokrat Konservatif melawan sistem kepmilikan swasta, yang juga disebut desentralisasi, dan sistem cadangan yang luput dari pengawasan Wall Street. Pada akhir tahun 1973 UU Fed diluncurkan, dan yang juga menggembirakan adalah Partai Demokrat dan Republik sama-sama mendukung UU tersebut.

Masa pasca Bretton Woods
Pada bulan Juli 1979, Paul Volcker diberi penghargaan oleh Presiden Carter karena dinilai berhasil mengatasi inflasi. Kala itu Paul menjabat sebagai Ketua Fed. Ia menjalankan sistem uang ketat, dan pada tahun 1986 inflasi berhasil ditekan. Pada Oktober 1979 Fed mengumumkan sebuah kebijakan "target" Total Uang dan Bank Sentral berusaha agar inflasi tidak mencapai dua digit.
Pada Januari 1987, dengan inflasi hanya 1%, Fed mengumumkan tidak akan terus menerus menggunakan Persediaan Uang (M2), tujuannya untuk mengontrol inflasi, seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1979 yang berdampak positif kala itu. Sebelum tahun 1980, suku bunga dijadikan sebagai jalan keluar dalam mengatasi masalah inflasi. Fed berkomentar bahwa jumlah Persediaan Uang nilainya cukup membingungkan karena sering berubah ubah. Volcker sebagai Ketua Fed hingga Agustus 1987, dan setelah itu Alan Greenspan menggantikan Volcker, tepat tujuh bulan setelah kebijakan moneter mengalami perubahan. 

Tujuan
Tujuan utama didirikannya Fed pada masa sebelumnya adalah untuk mengatasi masalah kepanikan bank lokal di AS khususnya pada era tahun 1907-an.
Sekarang, secara garis besar tugas The Fed yang juga terdapat dalam UU Fed adalah sbb:
1. Tempat mengatasi kepanikan bank.
2. Melakukan tugas Bank Sentral untuk negara AS.
3. Menjadi lembaga penyeimbang dari Bank Swasta dan Pemerintah.
   a. Mengawasi Kebijakan Institusi Perbankan
   b. Melindungi hak kredit dari konsumen.
4. Mengelola Persediaan Uang Negara melalui kebijakan moneter.
   a. Tingkat tenaga kerja yang maksimal
   b. Kestabilan Harga
   c. Tingkat Suku bunga yang moderat dalam jangka panjang.
5. Menjaga kestabilan dari sistem keuangan dan mengawasi sistem resiko dari pasar uang.
6. Menyediakan jasa keuangan seperti deposito, obligasi pemerintah, saham asing, termasuk didalamnya adalah berperan dalam sistem pembayaran antar negara.
7. Fungsi Nasional :
   a. Memfasilitasi Pembayaran antar negara bagian dan internasional.
   b. Sebagai katalisator dalam pertumbuhan ekonomi AS.
8. Fungsi Regional :
   a. Meresponi kebutuhan keuangan di negara Amerika.

Struktur
 
fed-governors.jpg
Deretan Gubernur The Fed di tiap negara bagian.
Dewan Gubernur  
1. Tujuh (7) anggota dengan masa jabatan 14 tahun.
2. Memberi pertanggungan jawab kepada Presiden melalui Senat.
3. Kantor operasional luar negeri, membuat keputusan-keputusan untuk kebijakan ekonomi, dan mengatur segala hal yang terkait dengan cadangan dana.

Federal Open Market Committee (FOMC)
1. Sebagai sebuah sistem dalam membuat kebijakan ekonomi.
2. Mengambil keputusan untuk membantu perkembangan kestabilan mata uang dan mempengaruhi arus kas dan kredit.
3. Terdiri dari tujuh(7) anggota Dewan Gubernur yang merupakan menjabat sebagai Presiden Fed, lima dari mereka dirotasi untuk wilayah tugasnya.

Federal Reserve Bank
1. Dua belas (12) bank regional dengan 25 cabang.
2. Setiap perusahaan non kooperasi dengan 9 anggota Dewan Gubernur dari sektor swasta.
3. Mengatur tingkat suku bunga, yang telah disetujui oleh Dewan Gubernur.
4. Mengawasi institusi ekonomi dan keuangan pada masing-masing distrik dan menyediakan jasa keuangan kepada pemerintah As dan lembaga penyimpan dana masyarakat.

Dewan Gubernur
Dewan Gubernur Fed adalah sebuah badan Federal independen dari pemerintah. Dewan Gubernur tidak menerima dana dari Kongres , dan tujuh anggota Dewan dipilih dari Kongres Kepresidenan. Dewan yang bertugas harus berjiwa independent. Dewan juga memberikan laporannya di Gedung Putih. Dewan Gubernur bertanggungjawab untuk membuat kebijakan moneter. Ketujuh Dewan Gubernur Fed dipilih langsung oleh Presiden melalui Senat. Anggota Dewan mempunyai durasi kerja selama 14 tahun(kecuali jika dimutasi langsung oleh Presiden), merupakan sebuah kesatuan. Jika diperlukan salah seseorang Dewan akan diangkat kembali untuk menjabat selama 14 tahun berikutnya.
Anggota Dewan Gubernur saat ini adalah : 
    * Ben Bernanke, Chairman
    * Donald Kohn, Vice-Chairman
    * Frederic Mishkin
    * Kevin Warsh
    * Randall Kroszner

Belajarforex Says
Bagi para financial investor, The Fed merupakan poros kebijakan US yang mutlak di perhitungkan. Apabila Anda bertrading mata uang seperti Forex, Anda harus mengenal bagaimana karakteristik The Fed dari waktu ke waktu, seperti apa Gubernur The Fed saat ini, bagaimana kondisi ekonomi US dan dunia menurut The Fed. Meskipun secara garis besar keputusan besar The Fed adalah masalah suku bunga, dalam hal-hal tertentu seperti pidato dan sidang, pasar mampu bereaksi sangat cepat apabila hal-hal seperti ini terjadi.
 
References

Hubungan Emas dan Dollar Australia

KOMPAS.com - Nilai tukar mata uang suatu negara ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern, baik itu kondisi ekonomi, situasi politik, dan sentimen lainnya. Seluruh faktor mengenai negara akan berpengaruh pada pergerakan mata uang negara tersebut baik itu berdampak banyak atau sedikit.
Namun dalam pasar forex terdapat mata uang yang harganya dinilai oleh hanya satu faktor yaitu ekspor. Mata uang ini dalam forex disebut dengan mata uang komoditas. Mata uang komoditas adalah mata uang yang berasal dari negara-negara yang merupakan eksportir bahan baku atau sumber daya alam yang dimilikinya.
Spesifikasi mata uang komoditas adalah ekonomi negara tersebut bedasarkan pada ekspor dari tipe barang mentah tertentu seperti minyak, gas, logam, dan produk pertanian. Secara umum pengertian ini berlaku tidak hanya bagi negara-negara berkembang pengekspor sumber daya alam/ bahan baku seperti Burundi, Tanzania atau Papua Nugini, namun juga berlaku bagi negara-negara industri maju pengekspor komoditi seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru.
Dengan pengertian tersebut maka pada dasarnya terdapat banyak mata uang yang dapat dikatakan sebagai commodity currency.  Mata uang yang paling aktif diperdagangkan di pasar forex adalah Dollar Selandia Baru (NZD=Dollar Kiwi), Dollar Australia (AUD=Aussie) dan Dollar Kanada (CAD=Loonie). Sehingga relevansi istilah commodity currency dalam perdagangan forex lebih condong kepada ketiga mata uang tersebut.
Mata uang ketiga negara itu juga dikenal sebagai commodity dollars atau Comdolls, karena ketiga negara tersebut memiliki mata uang yang bernama Dolar. Bagi negara-negara penghasil bahan baku dalam jumlah besar, kenaikan dari harga komoditi memungkinkan nilai tukar mata uang negara tersebut juga ikut naik, dan begitu juga sebaliknya.
Dollar Australia dan pergerakan harga emas
Salah satu negara penghasil komoditi terbesar dan memiliki mata uang yang aktif diperdagangkan adalah Australia. Saat ini Australia merupakan negara terkemuka dalam pertambangan dan memiliki cadangan besar dunia untuk emas, brown coal, timbal, nikel, tembaga dan perak. Sementara komoditas dari Australia berupa batubara, LNG, bijih besi, tembaga, intan dan mineral lainnya menjadi bahan baku untuk pembangunan negara-negara lain di dunia.
Dengan kepemilikan sumber daya yang melimpah, banyak investor yang menanamkan modalnya di sektor sumber daya alam Australia, dan telah memberikan kontribusi signifikan terhadap kemakmuran Australia. Sepanjang tiga tahun terakhir, sektor ini telah berkontribusi sekitar 18 persen dari PDB, 42 persen dari pendapatan ekspor dan lumbung pendapatan pajak perusahaan. Pendapatan dari sektor ini banyak direinvestasikan kembali pada proyek-proyek infrastruktur dan sumberdaya alam lainnya. Kunci utama untuk menarik investasi besar dan jangka panjang ke Australia adalah kemampuannya menyediakan rezim perpajakan yang stabil dan kompetitif.
Emas adalah salah satu komoditi yang menjadi andalan Australia dan memiliki porsi lebih dari 50 persen dari nilai ekspor total negara tersebut. Komoditi emas memberikan kontribusi besar bagi produk domestik bruto (PDB) Australia, sehingga kenaikan dan penurunan harga emas, dapat mempengaruhi arah dollar Australia. Hal ini menyebabkan fluktuasi nilai emas memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perekonomian Australia dan pergerakan mata uang dollar Australia. Bahkan pergerakan emas dapat dijadikan dasar atau langkah bagi pelaku pasar untuk memprediksi pergerakan pairs AUD/USD.
Dalam dunia keuangan, emas dipandang sebagai safe haven melawan inflasi dan juga merupakan komoditi yang paling sering diperdagangkan. Namun pasokan emas di pasar dunia tidak sejalan dengan jumlah permintaan yang terus mengalami peningkatan. Sejumlah merger dan penutupan tambang menggambarkan bagaimana pasokan emas berkurang.
Produksi tambang emas baru meningkat sekitar 3 persen pada tahun 2010, hingga menjadi sekitar 2.652 ton. Hal tersebut disebabkan karena beberapa tambang skala besar baru mulai beroperasi. Meskipun adanya peningkatan tersebut, bagaimanapun, produksi tambang emas telah menurun sejak awal tahun 2000, sehingga meski terjadi peningkatan pada produksi emas, namun tetap tidak mampu memenuhi permintaan konsumen akan emas.
Jumlah permintaan yang terus meningkat terutama dari China dan India membuat investor beralih pada produk emas sebagai peluang investasi dan mendorong harga emas kian menjulang tinggi. Selain meningkatnya permintaan, faktor lain yang menyebabkan harga emas melejit adalah lahan penambangan emas sudah tidak ada. Semua emas sudah digali dan para penambang sekarang harus menggali lebih dalam untuk mengakses cadangan emas berkualitas.
Fakta bahwa emas lebih menantang untuk diakses menimbulkan masalah tambahan, yang antara lain adalah para penambang akan terkena bahaya tambahan dan dampak lingkungan yang akan meningkat. Singkatnya, akan ada biaya lebih mahal untuk mendapatkan emas yang lebih sedikit. Hal ini akan menambah biaya produksi tambang emas hingga mengakibatkan kenaikan yang tajam pada harga emas.
Australia yang merupakan produsen emas terbesar ketiga, jelas sangat terpengaruh oleh nasib harga emas, begitu pula dengan mata uangnya. Apabila terjadi kenaikan pada harga emas maka diprediksi hampir selalu memberikan apresiasi bagi dollar Australia. Begitu pula sebaliknya bila terjadi penurunan pada harga emas maka akan memberikan pelemahan bagi dollar Australia dan sebagian besar mata uang negara lainnya, yang menjadikan emas sebagai commodity currency, seperti Selandia Baru. Kedekatan jarak Selandia Baru membuat Australia dipilih menjadi tujuan ekspor barang-barang Selandia Baru. Oleh karena itu, kesehatan ekonomi Selandia Baru berhubungan erat dengan kesehatan ekonomi Australia.
Dengan melihat pola pergerakan antara harga komoditi emas dan Aussie maka pada masa normal pergerakan naiknya harga emas seiring dengan menguatnya Aussie terhadap dollar AS. Sementara pada periode krisis keuangan global sekitar tahun 2008-2009, hubungan tersebut agak sedikit terganggu. Selama masa ketidakpastian atau resesi ekonomi, banyak investor beralih ke investasi emas karena daya tahan nilainya. Emas sering dianggap aman bagi investor pada saat kondisi ekonomi tidak menentu. Ketika pengembalian aktual yang diharapkan dari ekuitas, obligasi, dan real estate jatuh, minat dalam investasi emas meningkat, sehingga akan menaikkan harganya.
Emas dapat digunakan sebagai lindung nilai terhadap mata uang, devaluasi inflasi atau deflasi. Selain itu, emas dipandang sebagai perlindungan dari ketidakstabilan politik, sebagaimana dibuktikan oleh kerusuhan baru-baru ini di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang mungkin ikut memberikan pengaruh atas rally emas baru-baru ini ke level tertinggi baru.
Fluktuasi dollar Australia dan dollar AS
Saat ini Aussie merupakan mata uang yang banyak diperdagangkan di pasar valuta asing selain USD, euro, yen, dan pound sterling. Seiring dengan melonjaknya harga emas, Aussie pun ikut mengalami apresiasi tajam. Pada tanggal 15 Oktober 2010, dollar Australia mencapai paritas dengan dollar AS untuk pertama kalinya sejak menjadi mata uang yang bebas diperdagangkan. Mata uang dollar Australia kemudian diperdagangkan di atas paritas untuk periode selanjutnya yang dimulai pada bulan November 2010, dan terus mengalami fluktuasi hingga sekarang.
Pada tanggal 27 Juli 2011 Dolar Australia mencapai rekor tertinggi terhadap dollar Amerika yang diperdagangkan pada 1,1080 dollar terhadap dollar AS. Beberapa analis pasar uang bahkan menyatakan bahwa Aussie bisa naik hingga 1,70 dollar AS pada tahun 2014. Melambungnya harga komoditas merupakan pendorong terbesar bagi apresiasi dollar Australia.
Fluktuasi nilai dollar Australia pada tahun 2011 sangat terkait dengan permasalahan krisis utang negara Eropa, dan hubungan yang kuat antara Australia dengan importir di Asia khususnya Cina. Hal ini berarti perubahan nilai tukar dollar Australia terjadi dengan cara yang berlawanan dengan mata uang lainnya, dimana banyak mata uang yang terdepresiasi sebagai dampak terjadinya krisis keuangan di Eropa dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi tersebut membuka peluang yang lebih lebar lagi bagi apresaisi dollar Australia. Inilah saatnya bagi para investor untuk mengambil atau menambah porsi Aussie pada portofolionya untuk menghindari atau mengurangi kerugian yang disebabkan oleh uncertainty kondisi global. (Klara Pramesti, Treasury Research Analyst BNI)

Hubungan Emas,Minyak Bumi dan Dollar US

Sejarah singkat emas dan dollar
Awalnya, semua negara di dunia menggunakan emas dan perak ketika bertransaksi satu sama lain. Bahkan AS pun dalam UUD-nya mencantumkan bahwa negara menggunakan koin emas dan perak sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1800-an hingga 1900-an, orang-orang AS menggunakan uang koin emas dan perak.

Lalu pada 1862, Presiden Lincoln perlu uang untuk membiayai perang saudara (pertanyaan klasik yang hingga kini bisa terus dipertanyakan: siapakah pemicu perang? siapakah yang meraup uang dari perang?). Parlemen AS mengizinkan Lincoln untuk meminjam uang dari bank negara (saat itu masih benar-benar bank milik pemerintah AS) sebesar 150 juta dollar (dalam bentuk koin emas/perak). Seharusnya, pemerintahan Lincoln mengembalikan uang itu dengan uang lagi, namun karena tidak mampu, diperkenalkanlah uang kertas yang berisi ‘janji’ untuk membayar kelak di lain waktu. Ketika itulah pemerintah AS memperkenalkan uang kertas dalam bentuk ‘sertifikat emas/perak’. Para pemilik uang menyimpan uangnya di bank pemerintah, pemerintah akan memberikan sertifikat bukti simpanan itu. Sertifikat itu kemudian bisa dijadikan alat tukar. Si A bisa membeli barang kepada si B dengan menggunakan sertifikat ini, lalu ketika si B butuh uang, dia bisa menyerahkan sertifikat ke bank dan menukarnya dengan koin emas/perak sesuai yang tertera di sertifikat.
Uang kertas ini secara bertahap diperkenalkan ke masyarakat dan dicetak terus-menerus untuk membiayai pengeluaran negara. Awalnya, saat itu ada cadangan emas di bank yang menjadi penjamin uang kertas itu, namun kelak, lama kelamaan, emas cadangan pun habis, sehingga pada akhirnya, uang kertas hanya uang kertas, bukan lagi ‘bukti’ penyimpanan cadangan emas di bank.

Pertanyaan: mengapa uang kertas yang dijadikan jalan keluar? Jawabnya:

1) karena dgn uang kertas, segelintir orang bisa melakukan apa saja; misalnya, pemerintah bisa hidup mewah, yang tak mungkin bisa dilakukan bila hanya uang emas yang beredar; uang emas sangat terbatas dan hanya orang yang benar-benar bekerja dan punya sumber daya yang bisa memilikinya. Pemerintah korup tentu tak bisa bermewah-mewah dalam sistem uang emas, kecuali bila dengan terang-terangan menindas rakyat. Padahal, di era modern, penindasan dan perbudakan terang-terangan seperti zaman feodal dulu sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
2) karena ada segelintir orang kaya yang bisa meraup kekayaan yang sangat-sangat-super banyak melalui sistem ini; selanjutnya akan dijelaskan pada bagian III “Sejarah The Fed”]
Tentu saja, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu sangat panjang. Rakyat AS zaman itu sudah pasti tidak mau begitu saja dibodoh-bodohi: menyerahkan emas perak mereka untuk ditukar dengan kertas cetakan. Akhirnya pada 1933, dengan alasan untuk menyelamatkan perekonomian negara, Presiden Roosevelt menggunakan cara kekerasan: penyitaan emas-perak. Siapa saja yang menyimpan emas-perang dianggap kriminal dan terancam penjara dan denda. Transaksi harus menggunakan uang kertas. Semua kontrak bisnis yang menggunakan uang emas harus dikonversi ke uang kertas. Semua pemilik uang emas-perak harus datang ke bank untuk ditukar dengan sejumlah uang kertas. [Proses penyitaan emas ini juga dibarengi dengan indoktrinasi di sekolah-sekolah/universitas, karena pada era itu, sekolah di AS sudah dibawah kendali pemerintah. Rakyat AS didoktrin bahwa uang kertas sama baiknya dengan uang emas dan bahwa penyitaan emas adalah demi kebaikan rakyat.]
Setelah SEMUA uang emas ditarik, dan rakyat menggenggam uang kertas, bank pun melakukan devaluasi mata uang. Pemerintah AS lalu menjual sebagian emas yang disita dari rakyatnya itu kepada pasar internasional (tentu dengan melalui bank), dengan harga yang lebih mahal daripada harga beli dari rakyat. Pemerintah AS menerima uang kertas sebagai ganti emas yang ‘dirampok’ dari rakyat itu, lalu digunakan untuk membiayai roda pemerintahan (atau tepatnya, untuk membiayai kehidupan mewah para pejabat negara). Jelas ini adalah perampokan uang rakyat besar-besaran. Makanya dikatakan: sejak saat itu, rakyat AS dijajah oleh bank. Mereka harus bekerja keras, dibayar dengan uang kertas. Sumber daya alam –yang sejatinya milik rakyat- dieksplorasi (misalnya, emas dan minyak digali) lalu ditukar dengan uang kertas.
 
Pertanyaannya: siapa bank yang sedemikian berkuasa itu? Apakah benar-benar bank milik pemerintah AS? Jawabnya: baca di bagian III : Sejarah The Fed]

Selanjutnya, pada tahun 1944, AS menggagas sistem keuangan internasional yang disebut Perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini dihadiri 44 negara Barat ini sepakat bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi internasional, melainkan dengan dollar yang di-back up oleh emas. Artinya, AS menjamin bahwa setiap uang kertas dollar yang dicetaknya, ada cadangan emas di bank dalam jumlah tertentu. Lalu, mengapa negara-negara adikuasa macam Inggris, Perancis, dll, mau menerima perjanjian ini? Pertama, karena saat itu mereka sedang dalam posisi lemah akibat Perang Dunia I-II. Kedua, karena bank AS saat itu memiliki cadangan emas terbanyak. Dengan demikian, negara-negara lain diminta percaya pada uang dollar karena bank AS menyimpan 2/3 emas dunia.
Kenyataannya, akhirnya AS tak mampu lagi (atau, saya curiganya, sudah didesain demikian oleh para penggagas uang kertas) mem-back up semua dollar hasil cetakan pabrik dengan uang (seperti dikatakan tadi, emas itu terbatas, uang kertas bisa dicetak semau pemilik percetakan). Akibatnya, pertukaran dolar dengan emas tidak lagi setara dengan harga pertukaran emas resmi yang disepakati di Bretton Woods. Pada tahun 1971, AS sepihak mengumumkan tidak lagi terikat pada Bretton Woods dan tidak lagi melakukan back-up emas terhadap dollar yang dicetaknya. Namun terlambat bagi dunia, dollar sudah merasuk ke seluruh penjuru dunia dan menjadi alat tukar utama transaksi internasional. Dunia sudah dicengkeram oleh penjajahan bank AS yang bisa seenaknya mencetak dollar.
 
Faktor yang mempengaruhi harga Emas :
 
Perubahan Kurs
 
Melemahnya kurs dollar AS dapat mendorong kenaikan harga EMAS dunia. Ketika tingkat suku bunga naik, ada usaha yang besar untuk tetap menyimpan uang pada deposito ketimbang emas yang tidak menghasilkan bunga (non interest-bearing). Ini akan menimbulkan tekanan pada harga  EMAS. Sebaliknya, ketika suku bunga turun, harga  EMAS akan cenderung naik. Pada tahun 1998, karena nilai tukar rupiah merosot tajam terhadap mata uang dollar AS, pemerintah menaikkan tingkat suku bunga secara signifikan. Harapannya, menahan laju kenaikan nilai tukar dollar AS. Akibatnya, walaupun tingkat suku bunga naik, harga  EMAS juga naik. Terlihat jg tingkat suku bunga tidak terlalu berpengaruh pada harga  EMAS di Indonesia. Tetapi, lebih banyak dipengaruhi harga  EMAS dunia sehingga pengaruh nilai tukar dollar AS terhadap rupiah sangat besar. Saat terjadi kepanikan finansial seperti saat krisis moneter harga emas akan meroket tidak terkendali. Hal ini terjadi karena masyarakat enggan memegang uang kertas dan lebih memilih menyimpan kekayaanya dalam bentuk EMAS.
Salah satu contoh hal yang dapat mempengaruhi suplai dan permintaan (supply and demand) dari  EMAS  adalah seperti kejadian pada pertengahan tahun 1980. Contoh lainnya, kasus pada pertengahan tahun 1998 di mana harga  EMAS  terus merosot. Saat itu, bank-bank sentral di Eropa menyatakan akan mengurangi cadangan emasnya sehubungan rencana pemberlakuan mata uang euro. Harga  EMAS langsung anjlok di sekitar 290 dollar per troy ounce.
Sekitar 80 persen dari total suplai  EMAS  digunakan industri perhiasan. Konsumsi perhiasan merupakan pengaruh yang besar pada sisi permintaan. Ketika kondisi ekonomi meningkat, kebutuhan akan perhiasan cenderung naik. Namun, dari data statistik terlihat kebutuhan akan perhiasan lebih sensitif terhadap naik turunnya harga emas dibanding kan meningkatnya kondisi ekonomi.
Ketegangan politik dunia, misalnya AS dengan Iran, AS dengan Timur Tengah atau ketegangan lain yang membuat suhu politik dunia meninggi dan mengakibatkan ketidakpastian ekonomi  membuat harga emas naik.
Harga Emas Pada tahun 1971, sejak Presiden Richard Nixon mengakhiri konvertibilitas dolar AS dengan emas, untuk mengakhiri peran sentral dalam sistem mata uang emas dunia. Tiga tahun kemudian Kongres mengesahkan kepemilikan emas oleh warga AS. Dibebaskan dari harga pemerintah sebesar $ 35 per ons, dolar dan emas melayang. Pada tahun 1979 dan 1980, kurangnya kepercayaan investor pada kemampuan pemerintah untuk membatasi ekspansi uang beredar mengakibatkan kepanikan, sehingga membeli logam mulia sebagai lindung nilai terhadap inflasi. Harga emas melonjak, dan pada bulan Januari 1980 harga emas mencapai rekor sebesar $ 850 per ounce. Selama periode empat tahun 1976-1980, harga emas telah meningkat lebih dari 750%.
Pada awal 1980-an US Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk membatasi pertumbuhan uang beredar. Kebijakan ini mencapai tujuan dan pada tahun 1982 dan suku bunga menurun dan ketakutan inflasi telah mereda. Investasi modal menanggapi dengan memindahkan dalam aset keuangan dari komoditas termasuk emas, dan pasar melonjak. Setelah tertinggi bersejarah Januari 1980, harga emas kepedalaman dalam $ 300 - kisaran $ 400 sampai memukul rendah dari $ 256 pada bulan Februari 2001. Kemudian bull market emas kembali, dan pada bulan November 2009 telah mendorong harga hingga $ 1140 - naik sebesar 445%. Untuk beberapa investor, hal ini menunjukkan bahwa sejarah mengulangi dirinya sendiri dan harga emas adalah $ 2.000 per ounce. Untuk kembali ke tahun 1980 yang tinggi, ketika disesuaikan dengan inflasi, harga akan perlu lebih dari $ 2.000 sekarang.
Ada lembaga yang melacak dari semua emas di dunia. Gold Fields Mineral Services Ltd (GFMS) merupakan konsultan independen yang berbasis di London dan perusahaan riset, didedikasikan untuk mempelajari emas internasional dan pasar perak. GFMS menerbitkan Gold Survei tahunan, yang menampilkan analisis yang komprehensif dan statistik pada pasokan emas dan permintaan selama lebih dari enam puluh negara. GFMS memperkirakan bahwa di atas tanah saham emas mewakili total volume sekitar 160.000 ton, dimana lebih dari 60% telah ditambang sejak tahun 1950. GFMS memperkirakan bahwa semua emas yang pernah ditambang akan membentuk sebuah kubus berukuran 20 meter (19 meter) di setiap sisi. Pemegang emas terbesar di dunia seperti pemerintah Amerika Serikat, dengan 8,133.5 ton. Pemegang lain termasuk Jerman, Dana Moneter Internasional (IMF), Italia, Prancis, SPDR Emas Saham, Cina, Swiss, Jepang, dan Belanda.
Di pasar global ada kurangnya kepercayaan terus-menerus dalam mata uang berbasis kertas. Melemahnya dolar AS telah memberikan pengaruh yang luas yang mengurangi kepercayaan pada mata uang lainnya. Dan dengan bank sentral dan pembuat kebijakan pemerintah masih terlibat dalam intervensi belum pernah terjadi sebelumnya fiskal dan moneter, ini bisa berlanjut selama lebih lama lagi. Kekuatan emas saat ini mungkin merupakan cerminan bukan suatu penanganan khusus terhadap nilai dolar AS, melainkan ekspresi dari malaise underlying yang sama dengan efek sisa-sisa dari krisis keuangan global.
 
KESIMPULAN
 
Nilai suatu barang itu intinya adalah supply and demand. Ketika supply banyak dan demand sedikit tentu saja harga akan turun. Kalau supply sedikit demand banyak maka harga akan naik. Nah, jika terjadi krisis seperti krisis euro orang-orang akan mengalihkan pada dollar untuk mengamankan  hartanya sehingga permintaan emas turun meskipun supplynya cukup. Begitupun sebaliknya, jika dollar terkena inflasi maka orang-orang akan beralih ke emas yang menunjukan permintaan tinggi sehingga nilainya pun tinggi sedangkan nilai dollar turun. Itulah yang menyebabkan hubungan emas dan dollar berbanding  terbalik. Kenapa dollar? karena dianggap stabil dibanding mata uang lain yang cenderung labil.
 

Selasa, 09 Juli 2013

Muktamar Khilafah HTI, Penyimpangannya, dan NKRI

Sejak awal Mei 2013 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan roadshow sekaligus show of force dalam bentuk muktamar khilafah (MK) di beberapa kota di Indonesia. Puncak Muktamar khilafah diadakan di Gelora Bung Karno pada 2 Juni 2013.
 Muktamar ini berupaya menggiring orang muslim dengan satu destinasi final, mempercayai nalar khilafah HTI dan ikut memperjuangkan penegakannya, dan kalau bisa tentu Indonesia sebagai pusat khilafah. Sehingga hampir setiap hari, terutama lewat media internet maupun sms (short message service), para aktifisnya menawari orang-orang yang komitmen kepada syari’ah  untuk mengikuti acara tersebut.
Anehnya, terkadang cara yang digunakan untuk menggiring peserta ke arena muktamar tidak simpatik. Saya mendapat sms dari teman NU di Nganjuk, “Ranting Muslimat Rejoso termasuk pengurusnya, 4 bis, diajak pengajian ke Surabaya, bis gratis. Iuran 20 ribu makan 2 kali. Ternyata pengajian HTI.”
Belum lagi pasang spanduk yang mengatasnamakan Pagar Nusa atau yang lain. Atau juga  kabar angin yang sering dihembuskan, termasuk ke saya bahwa ulama atau kiai NU yang mempunyai ribuan jama’ah siap menghadiri acara MK. Tapi ketika saya tanya siapa dia, jawabnya enteng, itu rahasia.
Terkadang cara yang tidak elegan ini mampu menarik massa untuk terlibat dalam muktamar khilafah. Seperti sms yang saya terima dari seorang mahasiswa lugu di Jember , “Karena yang saya lihat kemarin itu (muktamar khilafah di Surabaya pen.) perjuangan HT bukan untuk kelompoknya. Bisa dilihat dari tema muktamarnya, “Muktamar Khilafah”. Berbeda dengan yang saya tahu selama ini, NU, muktamar NU; MD, muktamar MD. Tapi HTI kok beda?”  
Atas itu semua, mari kita jernihkan tentang realitas historis khilafah. Tidak ketinggalan tentang posisi Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).         

Antara Realitas Historis dan Idealitas
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang pernah dijalankan umat Islam. Dalam kronika historis, khilafah telah mengalami proses yang sangat historis, dan tentu rentan kritik.
Namun perkembangan yang terjadi, khilafah menjadi icon, nomenklatur, bahkan sebuah ideologi. Khilafah menjadi suci, sakral, dan sangat ideologis yang tidak boleh ada saingan, bahkan menafikan dan underestimate terhadap sistem politik lain.
Andaikata para aktivis Hizbut Tahrir menyebut khilafah sebagai manusiawi yang bisa salah, statemen itu justeru untuk memperteguh eksistensi khilafah. Baginya, khilafah tidak akan pernah salah, yang salah adalah elit pemegangnya. Karena bagi Hizbut Tahrir, khilafah adalah paket dari Nabi.  
Padahal penelitian saya dari kitab-kitab Hizbut Tahrir, sistem politik yang merupakan paket dari Nabi ini ternyata telah mengalami perubahan dan perbedaan antara karya pendiri Hizbut Tahrir dengan pemimpin yang sekarang ini. Justru yang disayangkan, tidak ada perubahan terhadap konsep yang menjadi titik lemah, seperti model pemimpin seumur hidup, tiada separation of power, khalifah sangat powerful karena memegang  legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
 Lain dari itu, realitas historis khilafah berbicara secara gamblang terhadap sisi negatifnya –di samping positifnya-, sebagaimana pada sistem-sistem politik yang lain. Kebaikan, kemajuan, perkembangan sains dan peradaban Islam pada masa kekhilafahan dan kerajaan, ataupun kesultanan Islam begitu melimpah dapat dibaca di dalam buku-buku sejarah Islam.
Biasanya nilai-nilai kebaikan inilah yang selalu diinternalisasikan Hizbut Tahrir kepada para pengikutnya. Akhirnya para pengikutnya menjadi rabun terhadap kelemahan yang pernah terjadi pada masa khilafah tersebut. 
Sebagai penyeimbang, sisi negatif pada masa khilafah dapat dilihat dalam ketatanegaraan. Hampir seluruh era khilafah dan kerajaan muslim terjadi apa yang disebut dengan proses pergantian pemimpin lewat putra mahkota.   
Dalam soal hak asasi dan hukum perang pernah terjadi penyelewengan. Sebagaimana dicatat oleh Nadirsyah Hosen Pengajar di Fakultas Hukum University of Wollongong Australia, terjadi pemberontakan di kota Musil melawan pemimpin Khilafah Abbasiyah, as-Saffah. Panglima perang as-Saffah mengumumkan di kalangan rakyat bahwa siapa yang memasuki masjid Jami',  dijamin keamanannya. Ribuan orang berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian dihabisi  nyawanya. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu.
Sebagai tambahan, cukuplah penjelasan al-Maududi dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk  bahwa setelah masa 30 tahun setelah Nabi wafat, muncul kerajaan yang memaksa. Ciri dari kerajaan ini adalah pengangkatan putra mahkota, perubahan gaya hidup, keuangan negara menjadi milik raja, terpasungnya berpendapat, peradilan tidak bebas, hukum tidak menjadi panglima, dan munculnya kefanatikan.                 

NKRI
Harus diakui dalam lintas sejarah umat Islam dan pemikiran politiknya, banyak sistem ketatanegaraan yang berkembang. Seperti khilafah, imamah, kerajaan, keamiran, kesultanan, wilayatul faqih (model Syi’ah), maupun NKRI. 
Dengan demikian, khilafah bukan satu-satunya sistem politik yang diintrodusir ulama Islam. Bisa disebut  al-Farabi, Ibnu Abi Rabi, Al-Ghazali, Nashiruddin Al-Thusi, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, hingga Ibn Taymiyyah hampir semuanya sepakat tentang realitas manusia sebagai social creature yang pasti akhirnya membutuhkan negara. Namun mereka tidak merekomendasikan khilafah sebagai satu-satunya sistem Islam. Bahkan dalam buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik  karya  Ibn Abi Rabi’ yang hidup pada masa  Abbasiyah, dijelaskan bahwa sistem ketataneggaraan terbaik adalah kerajaan.  
Terlebih lagi dapat dipastikan bahwa khilafah sebagai kesatuan sistem sebagaimana yang digambarkan Hizbut Tahrir, pasti hanya satu-satunya milik Hizbut Tahrir. Model struktur khilafah Hizbut Tahrir tidak pernah digambarkan dan dijabarkan oleh ulama-ulama Sunni maupun Syi'ah sejak zaman dahulu.   
Untuk alasan di atas, NKRI juga harus diapresiasi kehadirannya. NKRI merupakan produk ulama Indonesia yang absah. Buktinya KH. Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan resolusi jihad. Demikian juga KH. Wahab Hasbullah dan KH. Wahid Hasyim yang turut berkiprah di dalam NKRI. Demikian pula tokoh Muhammadiyah seperti ki Bagus Hadikusumo juga menerima NKRI.
Maka NKRI kalau ditarik dalam konteks ushul fiqih, sudah merupakan ijma’ ulama Indonesia, tentu sungguh tidak elok bila mau diganti dengan khilafah. Energi kita nanti akan habis untuk hal tersebut. Kita tidak mau mengulang lagi sejarah piagam Jakarta hingga Dekrit Presiden tahun 1959, dan mereproduksi kembali DI/TII.
Akan sangat bijaksana bila umat Islam semua rakyat Indonesia dengan ragam pemikiran dan keyakinannya untuk mengisi NKRI dengan nilai-nilai yang mereka idealkan, bukan malah mendekonstruksi. Cara dekonstruksi selain tidak benar, juga political cost yang harus dikeluarkan sangat mahal, outputnya hanya friksi-friksi tajam yang kontra-produktif dan destruktif.


*Penulis Disertasi tentang Khilafah Hizbut Tahrir, Dosen Poltik Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, pembina Pagar Nusa Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Minggu, 24 Juni 2012

PILKADA (PEMILIHAN UMUM KADALUARSA)

Bulan Juli merupakan saat dimana masyarakat daerah merayakan pesta demokrasi dengan memilih beberapa kandidat yang dianggap kompeten dalam mengelola sumber daya daerah serta memecahkan beberapa masalah yang belum terselesaikan dengan masa jabatan 5tahun berdasarkan aturan UUD 1945. Ya itulah pilkada alias pemilihan umum kepala daerah dimana kota memilih walikota dan kabupaten memilih bupati.
Namun dalam pelaksanaanya membutuhkan biaya yang sangat mahal dari APBD yang bersumber dari APBN. Berikut beberapa rincian biaya pemilu.

Menurut data yang saya peroleh dari berbagai sumber untuk tingkat Pedesaan/Kelurahan ± 75.138, Kabupaten/Kotamadya ± 497, dan Provinsi 33.

1. Tingkat Pedesaan/Kelurahan     :  75.138 x          10.000.000   =       751.380.000.000
2. Tingkat Kabupaten/Kotamadya  :       497 x    70.000.000.000   =     790.000.000.000
3. Tingkat Provinsi                          :         33 x   600.000.000.000  = 19.800.000.000.000
4. Pemilihan Presiden                     :                                                =   9.000.000.000.000
                                                                                        Total         = 30.341.380.000.000 

Itu hanya memilih pemimpin dan wakilnya saja, belum DPR, DPRD, DPD yang tentunya membutuhkan dana yang sangat ekstrim dari uang rakyat, akan tetapi sedikit sekali bahkan tak ada rasanya sumbangsih mereka saat berada di tampuk kekuasaan. Semua janji-janji saat kampanye, terlupakan bahkan bisa dibilang amnesia.

 Saat kampanye tiba, banyak simpatisan atau relawan yang ikut berkampanye mendukung tiap kandidat yang berlagak "sok" dengan mengendarai motor memenuhi ruas jalan. Ini sangat mengganggu! terutama mereka yang ugal-ugalan.
Sebenarnya perlu dimaklumi, hampir sebagian besar mereka itu buta politik. Mereka ikut kampanye hanya dengan motif uang. 

Dari berbagai macam kategori, saya membagi berdarkan  sadar dan tidak akan politik. Ini hanya untuk analogi saja. Misalkan yang sadar politik 50% sedangkan yang tidak sadar 50% juga. Kedua kategori itu seharusnya memilih, namun pada kenyataannya yang dominan memilih adalah mereka yang tidak sadar akan politik yang hanya bisa dibeli dengan uang 50ribu dan kaos partai. Sehingga yang jadi incaran adalah kategori yang tidak sadar saja oleh setiap masing-masing kandidat. Inilah penyebab mengapa setiap pemimpin yang memimpin tidak bisa dengan efektif dan efisien dalam memanfaatkan jabatan mereka karena 50% orang-orang intelek menyatakan dirinya golput alias tak mau memeilih karena mereka tahu bakal seperti apa pemimpin selanjutnya alias tak ada perubahan dan semakin bobroknya perpolitikan kita yang implikasinya membuat sebagian besar orang alergi membicarakan politik. Inilah perbuatan oknum yang berjamaah itu.

Dengan melihat kondisi seperti diatas, para kaum intelek menganggap pilkada itu sudah basi atau kadaluarsa mengingat biaya yang begitu mahal dan nihilnya dukungan mereka terhadap rakyat. Ironis.