Sejak awal Mei 2013 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan roadshow sekaligus show of force
dalam bentuk muktamar khilafah (MK) di beberapa kota di Indonesia.
Puncak Muktamar khilafah diadakan di Gelora Bung Karno pada 2 Juni 2013.
Muktamar ini berupaya menggiring orang muslim dengan satu destinasi
final, mempercayai nalar khilafah HTI dan ikut memperjuangkan
penegakannya, dan kalau bisa tentu Indonesia sebagai pusat khilafah.
Sehingga hampir setiap hari, terutama lewat media internet maupun sms (short message service), para aktifisnya menawari orang-orang yang komitmen kepada syari’ah untuk mengikuti acara tersebut.
Anehnya, terkadang cara yang digunakan untuk menggiring peserta ke
arena muktamar tidak simpatik. Saya mendapat sms dari teman NU di
Nganjuk, “Ranting Muslimat Rejoso termasuk pengurusnya, 4 bis, diajak
pengajian ke Surabaya, bis gratis. Iuran 20 ribu makan 2 kali. Ternyata
pengajian HTI.”
Belum lagi pasang spanduk yang mengatasnamakan Pagar Nusa atau yang
lain. Atau juga kabar angin yang sering dihembuskan, termasuk ke saya
bahwa ulama atau kiai NU yang mempunyai ribuan jama’ah siap menghadiri
acara MK. Tapi ketika saya tanya siapa dia, jawabnya enteng, itu
rahasia.
Terkadang cara yang tidak elegan ini mampu menarik massa untuk
terlibat dalam muktamar khilafah. Seperti sms yang saya terima dari
seorang mahasiswa lugu di Jember , “Karena yang saya lihat kemarin itu
(muktamar khilafah di Surabaya pen.) perjuangan HT bukan untuk
kelompoknya. Bisa dilihat dari tema muktamarnya, “Muktamar Khilafah”.
Berbeda dengan yang saya tahu selama ini, NU, muktamar NU; MD, muktamar
MD. Tapi HTI kok beda?”
Atas itu semua, mari kita jernihkan tentang realitas historis
khilafah. Tidak ketinggalan tentang posisi Negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Antara Realitas Historis dan Idealitas
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang pernah dijalankan
umat Islam. Dalam kronika historis, khilafah telah mengalami proses yang
sangat historis, dan tentu rentan kritik.
Namun perkembangan yang terjadi, khilafah menjadi icon, nomenklatur,
bahkan sebuah ideologi. Khilafah menjadi suci, sakral, dan sangat
ideologis yang tidak boleh ada saingan, bahkan menafikan dan
underestimate terhadap sistem politik lain.
Andaikata para aktivis Hizbut Tahrir menyebut khilafah sebagai
manusiawi yang bisa salah, statemen itu justeru untuk memperteguh
eksistensi khilafah. Baginya, khilafah tidak akan pernah salah, yang
salah adalah elit pemegangnya. Karena bagi Hizbut Tahrir, khilafah
adalah paket dari Nabi.
Padahal penelitian saya dari kitab-kitab Hizbut Tahrir, sistem
politik yang merupakan paket dari Nabi ini ternyata telah mengalami
perubahan dan perbedaan antara karya pendiri Hizbut Tahrir dengan
pemimpin yang sekarang ini. Justru yang disayangkan, tidak ada perubahan
terhadap konsep yang menjadi titik lemah, seperti model pemimpin seumur
hidup, tiada separation of power, khalifah sangat powerful karena
memegang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Lain dari itu, realitas historis khilafah berbicara secara gamblang
terhadap sisi negatifnya –di samping positifnya-, sebagaimana pada
sistem-sistem politik yang lain. Kebaikan, kemajuan, perkembangan sains
dan peradaban Islam pada masa kekhilafahan dan kerajaan, ataupun
kesultanan Islam begitu melimpah dapat dibaca di dalam buku-buku sejarah
Islam.
Biasanya nilai-nilai kebaikan inilah yang selalu diinternalisasikan
Hizbut Tahrir kepada para pengikutnya. Akhirnya para pengikutnya menjadi
rabun terhadap kelemahan yang pernah terjadi pada masa khilafah
tersebut.
Sebagai penyeimbang, sisi negatif pada masa khilafah dapat dilihat
dalam ketatanegaraan. Hampir seluruh era khilafah dan kerajaan muslim
terjadi apa yang disebut dengan proses pergantian pemimpin lewat putra
mahkota.
Dalam soal hak asasi dan hukum perang pernah terjadi penyelewengan.
Sebagaimana dicatat oleh Nadirsyah Hosen Pengajar di Fakultas Hukum
University of Wollongong Australia, terjadi pemberontakan di kota Musil
melawan pemimpin Khilafah Abbasiyah, as-Saffah. Panglima perang
as-Saffah mengumumkan di kalangan rakyat bahwa siapa yang memasuki
masjid Jami', dijamin keamanannya. Ribuan orang berduyun-duyun memasuki
masjid, kemudian dihabisi nyawanya. Sebanyak sebelas ribu orang
meninggal pada peristiwa itu.
Sebagai tambahan, cukuplah penjelasan al-Maududi dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk
bahwa setelah masa 30 tahun setelah Nabi wafat, muncul kerajaan yang
memaksa. Ciri dari kerajaan ini adalah pengangkatan putra mahkota,
perubahan gaya hidup, keuangan negara menjadi milik raja, terpasungnya
berpendapat, peradilan tidak bebas, hukum tidak menjadi panglima, dan
munculnya kefanatikan.
NKRI
Harus diakui dalam lintas sejarah umat Islam dan pemikiran
politiknya, banyak sistem ketatanegaraan yang berkembang. Seperti
khilafah, imamah, kerajaan, keamiran, kesultanan, wilayatul faqih (model Syi’ah), maupun NKRI.
Dengan demikian, khilafah bukan satu-satunya sistem politik yang
diintrodusir ulama Islam. Bisa disebut al-Farabi, Ibnu Abi Rabi,
Al-Ghazali, Nashiruddin Al-Thusi, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, hingga Ibn
Taymiyyah hampir semuanya sepakat tentang realitas manusia sebagai social creature
yang pasti akhirnya membutuhkan negara. Namun mereka tidak
merekomendasikan khilafah sebagai satu-satunya sistem Islam. Bahkan
dalam buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik karya Ibn Abi Rabi’ yang hidup pada masa Abbasiyah, dijelaskan bahwa sistem ketataneggaraan terbaik adalah kerajaan.
Terlebih lagi dapat dipastikan bahwa khilafah sebagai kesatuan sistem
sebagaimana yang digambarkan Hizbut Tahrir, pasti hanya satu-satunya
milik Hizbut Tahrir. Model struktur khilafah Hizbut Tahrir tidak pernah
digambarkan dan dijabarkan oleh ulama-ulama Sunni maupun Syi'ah sejak
zaman dahulu.
Untuk alasan di atas, NKRI juga harus diapresiasi kehadirannya. NKRI
merupakan produk ulama Indonesia yang absah. Buktinya KH. Hasyim Asy’ari
pernah mengeluarkan resolusi jihad. Demikian juga KH. Wahab Hasbullah
dan KH. Wahid Hasyim yang turut berkiprah di dalam NKRI. Demikian pula
tokoh Muhammadiyah seperti ki Bagus Hadikusumo juga menerima NKRI.
Maka NKRI kalau ditarik dalam konteks ushul fiqih, sudah merupakan
ijma’ ulama Indonesia, tentu sungguh tidak elok bila mau diganti dengan
khilafah. Energi kita nanti akan habis untuk hal tersebut. Kita tidak
mau mengulang lagi sejarah piagam Jakarta hingga Dekrit Presiden tahun
1959, dan mereproduksi kembali DI/TII.
Akan sangat bijaksana bila umat Islam semua rakyat Indonesia dengan
ragam pemikiran dan keyakinannya untuk mengisi NKRI dengan nilai-nilai
yang mereka idealkan, bukan malah mendekonstruksi. Cara dekonstruksi
selain tidak benar, juga political cost yang harus dikeluarkan sangat mahal, outputnya hanya friksi-friksi tajam yang kontra-produktif dan destruktif.
*Penulis Disertasi tentang Khilafah Hizbut Tahrir, Dosen Poltik Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, pembina Pagar Nusa Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
0 komentar:
Posting Komentar