Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Ke-21 yang berlangsung di Istana
Perdamaian, Phnom Penh, Kamboja, 18-20 November 2012, memberi harapan
ASEAN dalam memasuki fase baru untuk meningkatkan hubungan dengan
komunitas global.
Penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam sesi pleno KTT ASEAN ke-21 itu kemudian dimanfaatkan sebagai
peningkatandaya tahan ASEAN dari krisis keuangan global memasuki ASEAN
2015. Persoalannya, meski ASEAN tengah mengantisipasi dampak krisis
Eropa dan perlambatan ekonomi Amerika Serikat bagi kawasan dengan
penguatan konektivitas ASEAN serta meningkatkan daya saing dan daya
tahan, ada dua tantangan yang menghadang ASEAN.
Pertama, dalam
menghadapi China, apakah ASEAN mampu mengakomodasi secara baik isu Laut
China Selatan. Kedua, sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi
dunia saat ini, Asia dan ASEAN belum begitu solid dalam menata struktur
ekonomi yang ada.
Tantangan ASEAN
Globalisasi yang lahir dari belahan Barat seolah menjadi sebuah imperium
yang tidak satu negara pun mampu menghindari. Kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi, beroperasinya institusi-institusi
internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank,
serta mekanisme pasar bebas dengan organisasi perdagangan dunianya,
telah mendorong globalisasi secara masif dan ekstensif ke berbagai
penjuru dunia.
Dalam konteks itu, hegemoni negara-negara adikuasa
semakin terasa mengimpit negara berkembang dan menempatkannya pada
posisi tidak menguntungkan, demikian halnya ASEAN. Joseph Stiglitz
(2002) menyebutkan, globalisasi secara tipikal diartikan dengan
penerimaan kapitalisme unggul gaya Amerika Serikat.
Di lain
pihak,negara-negara berkembang harus menerima bagian globalisasi jika
ingin tetap tumbuh secara ekonomi dan mampu memerangi kemiskinan secara
efektif. Ancaman globalisasi jika tidak diartikan secara aktif oleh
ASEAN bisa meruntuhkan sendi-sendi kemitraan dan solidaritas yang telah
lama terbangun.
Pada perkembangannya, meski ASEAN telah membentuk
mekanisme ASEAN Plus Three dengan China, Jepang dan Korea Selatan; East
Asia Summit (EAS) dengan negaranegara mitra wicara,seperti AS, Uni
Eropa,Australia, Jepang, China, Korea Selatan, dan Rusia.Juga dengan
ASEAN Regional Forum (ARF) yang beranggotakan negara-negara besar, tidak
mampu menangkal hegemoni dari negara besar itu. China, misalnya, dalam
KTT ASEAN ke- 21 di Kamboja, tidak mau kompromi bahwa agenda tentang
Laut China Selatan dijadikan sebuah deklarasi bersama ASEAN.
China tetap pada prinsipnya menolak multilateralisasiklaim tumpang
tindih kedaulatan di Laut China Selatan. Krisis ASEAN-China ini
berpotensi mengganggu volume perdagangan dan investasi dunia dan
kegagalan ASEAN ini berpotensi memecah ASEAN yang selama ini dikenal
kohesif dalam berdiplomasi. Lebih-lebih ASEAN selalu mengadvokasi
sentralitas ASEAN.
Penopang Pertumbuhan Dunia
Dengan
integrasi dan interdependensi yang makin solid dengan kekuatan-kekuatan
ekonomi besar di Asia, seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan,
ASEAN 2015 berpeluang menjadi bagian penting dari emerging economies yang akan menjadi alternatif pertumbuhan ekonomi dunia pada saat ekonomi AS dan Uni Eropa masih terus dibayangi krisis.
Berdasarkan
perkiraan International Monetary Fund (IMF), ekonomi global akan
melemah pertumbuhannya hingga menjadi 3,3 persen pada 2012. Bandingkan
dengan laju pertumbuhan yang mencapai 5,1 persen pada 2010 dan 3,8
persen pada 2011. Ekonomi Asia yang biasanya perkasa diperkirakan tumbuh
lebih rendah pada 2012 atau 2013 menjadi 5,4 persen dan 5,9 persen atau
turun 0,6 persen dan 0,7 persen dari proyeksi April 2012.
Emerging economy seperti
China dan India yang bertahan pada krisis keuangan global pada 2008
diperkirakan pertumbuhan ekonominya turun. Laju pertumbuhan ekonomi
China pada 2012 diperkirakan tinggal menjadi 7,8 persen dan India 4,9
persen.
Bandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi China 2011 sebesar 9,2 persen
dan India 6,8 persen (Sri Adiningsih, 2012). Dalam laporan IMF,saat ini
negara-negara yang ekonomi dan industrinya tumbuh cepat (emerging markets),
termasuk Indonesia, lebih tahan dibandingkan pada dekade sebelumnya.
Bahkan dinyatakan ketahanan perekonomian negara-negara itu luar biasa
karena mampu tumbuh tinggi dan lebih ekspansif daripada negara maju.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi di Asia, yang oleh IMF diperkirakan
tetap menjanjikan, seharusnya disikapi hati-hati dan lebih jeli lagi.
Betapa
tidak, dalam laporan Prospek Ekonomi Dunia di sela-sela pertemuan
tahunan dengan Bank Dunia di Tokyo, Jepang, 9 November 2012,IMF
memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,3 persen. Pada
Juli 2012, IMF masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada level
3,5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Asia pada 2012 tetap
menjanjikan, yaitu 6,7 persen dan 7,2 persen pada 2013. IMF juga
memperingatkan bahwa perekonomian akan menjadi lebih buruk jika krisis
zona euro tidak segera diselesaikan dan Washington gagal memperbaiki
fiskalnya.
Pertumbuhan di negara berkembang yang biasanya melaju
dengan cepat, seperti China, India, dan Brasil, juga akan melemah
(Oliver Blanchard, 2012). Selain IMF, lembaga multilateral lain seperti
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), terlebih dulu memangkas
perkiraan pertumbuhan global. Gejolak di pasar global dan pemangkasan
anggaran di beberapa negara maju juga telah membuat risiko menjadi lebih
tersebar di segala penjuru dunia, memperlambat perdagangan dan
investasi.
Kegagalan dalam bertindak terhadap beberapa isu akan membuat prospek
pertumbuhan akan menjadi lebih buruk lagi (Oliver Blanchard, 2012).
Apalagi kendala yang dihadapi struktur ekonomi negara-negara ASEAN masih
ada, yang umumnya tidak saling melengkapi, malahan saling bersaing.
Misalnya pemasaran komoditi-komoditi tertentu, seperti minyak kelapa
sawit antara Malaysia dan Indonesia, karet antaraThailand, Indonesia,
dan Malaysia.
Persaingan juga terjadi antara Vietnam dan
Indonesia dalam hal kopi robusta, dan antara Indonesia, Myanmar dan Laos
dalam hal pemasaran kayu (log) dan kayu jati. Meski dalam sepuluh tahun
terakhir negara-negara Asia Tenggara berada di bawah bayang-bayang
China dan India, akan tetapi produk domestik bruto (PDB) gabungan 10
negara anggota ASEAN sudah melampaui PDB India, dan bisa menyalip PDB
Jepang dalam 16 tahun ke depan. Kekuatan PDB ASEAN telah tumbuh dari
sekitar USD600 miliar pada 2000 menjadi USD2,3 triliun tahun ini.
Salah
satu faktor yang berpengaruh adalah aktivitas perdagangan dengan China.
PDB ASEAN diperkirakan akan menyentuh USD4,7 triliun pada 2020 dan
nyaris mencapai USD10 triliun pada 2030. Situasi ekonomi yang menguat di
negara-negara besar kawasan ini, termasuk Indonesia, Thailand,
Malaysia, dan Filipina, juga diramalkan akan menarik lebih banyak
investasi, lapangan kerja, dan merek-merek global ke Asia Tenggara
(Rajiv Biswas, 2012). Sampai kapan kiprah Asia dan ASEAN sebagai salah
satu penopang ekonomi dunia, pastinya waktulah yang menentukan.
FAUSTINUS ANDREA
Staf Peneliti CSIS, Jakarta (Koran SI/Koran SI/ade)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar