Jakarta - Mayor Infanteri Agus Harimurti Yudhoyono kini
menjabat Kepala Operasi Infanteri 17 Brigade Airbone Kostrad TNI AD.
Namun hingga kini, Agus lebih banyak dikenal sebagai putra Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketimbang sosoknya secara personal.
Agus
lahir pada 10 Agustus 1978 . Dia memang putra sulung SBY dan Ibu Negara
Kristiani Herawati. Seperti ayahnya, ia juga memilih jalur militer,
jalur yang beda dengan sang adik, Edhie Baskoro (Ibas) yang aktif
berpolitik.
Agus mengakui memang tidak banyak yang mengetahui
bagaimana perjalanan hidupnya sebelum sang ayah menjadi Presiden.
“Mungkin lebih banyak orang melihat saya saat ini (anak presiden),
tetapi tentu sebenarnya saya mengikuti perjalanan karier orang tua dari
bawah,” kata Agus.
Bagaimana lulusan Harvard University itu
menyikapi pandangan itu? Mengapa ia memilih karier militer? Bagaimana ia
memaknai Sumpah Pemuda?
Berikut wawancara Isfari Hikmat dari majalah detik
dengan Kepala Operasi Infanteri 17 Brigade Airbone Kostrad TNI AD Mayor
Infanteri Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.P.A. di kawasan Cikini,
Jakarta Pusat pada Rabu 24 Oktober 2012:
Sekarang Anda dikenal sebagai putra Presiden SBY. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?
Memang
tidak banyak yang mengetahui bagaimana perjalanan saya sampai dengan
hari ini. Mungkin lebih banyak orang melihat saya saat ini (anak
presiden), tetapi tentu sebenarnya saya mengikuti perjalanan karier
orang tua dari bawah.
Saya tidak terlahir sebagai anak presiden,
tetapi saya terlahir sebagai anak seorang perwira muda yang meniti
kariernya dari bawah, dengan segala tantangan dan permasalahannya.
Saya
rasa itu adalah hal yang indah karena saya banyak belajar dari
pengalaman orang tua saya, itu juga membekali perjalanan hidup sejak
saya menetapkan profesi sebagai prajurit di lingkungan Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Saya meyakini kedua orang tua saya selalu ingin
menempa saya agar jadi manusia yang baik, yang tidak hanya mendapatkan
kemudahan. Namun juga meniti karier dan hidupnya dengan tempaan hidupnya
yang tidak ringan dan sederhana, dibarengi juga oleh doa mereka agar
saya memiliki kekuatan mengatasi rintangan itu.
Mengapa Anda memilih berkarier di militer?
Profesi
militer di negara mana pun memiliki tanggung jawab yang besar. Persepsi
umum, menjadi prajurit itu sulit. Artinya menghadapi tugas-tugas yang
penuh risiko, penuh tantangan. Risiko itu dimulai dari yang paling kecil
meninggalkan keluarga, jauh, dan dalam waktu yang cukup lama, sampai
dengan risiko kehilangan nyawa di medan pertempuran.
Kalau
ditanya kenapa memilih masuk ke sana meski sudah tahu risikonya, itu
tidak terlepas dari inspirasi yang diberikan, ditunjukkan orang tua
saya, kakek saya. Termasuk anggota keluarga besar lainnya yang tidak
sedikit menjadi perwira militer. Kenapa memilih militer, karena militer
adalah pekerjaan yang mulia, dengan segala keterbatasan dan kekurangan
yang kita miliki. Tentu kita ingin melakukan yang terbaik.
Siapa yang menjadi inspirasi Anda?
Saya
terinspirasi dari sosok perwira dan prajurit yang penuh dedikasi,
hampir setiap saat, waktu dan energinya diberikan untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya. Dan tugas-tugas itu sekali lagi penuh dengan risiko.
Sering saya sejak kecil ditinggal tugas oleh orang tua, saya hanya
bertiga dengan ibu dan adik saya, (kami) masih kecil-kecil.
Bahkan
saya mengikuti penugasan ayah ketika itu di Timor Timur, menjadi
komandan Batalion Satuan Tempur di sana, ketika itu situasinya masih
mencekam. Kita menghadapi gangguan separatisme ataupun kelompok yang
ingin merdeka ketika itu, saya merasakan betul betapa sulitnya keadaan,
dan pengorbanan keluarga tidak sedikit.
Apa yang saya ambil dari
cerita panjang tadi, semua profesi baik, semua profesi mulia, apa pun
itu. Tetapi memang menjadi prajurit menuntut lebih, dedikasi tanpa kenal
batas, unlimited dedication. Karena kita teken kontrak sejak awal, siap
menyerahkan jiwa dan raga untuk tugas negara. Tanda tangan.
Saya
merinding kalau cerita seperti ini, karena memang itulah yang
ditekankan pertama kali ketika masuk akademi militer. Dan itu merupakan
nilai dalam kehidupan, juga pada akhirnya. Bahwa dalam setiap kesempatan
kita ingin berbuat yang terbaik untuk bisa menjamin kepentingan
nasional kita.
Bagaimana Anda memaknai Sumpah Pemuda?
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang unik, beragam latar belakang budaya,
agama, dan suku, tapi itulah yang membuat kita indah karena ada
pemersatu. Kalau kita bicara soal Sumpah Pemuda itu juga pemersatu kita.
Tonggak sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh generasi muda kita.
Sumpah atau janji itu bahwa kita bertanah air satu, berbangsa satu,
berbahasa satu, dalam konteks kekinian harus disikapi secara utuh dan
luas. Bukan berarti berbahasa satu, kita tidak boleh berbahasa Inggris
kalau begitu, bukan seperti itu.
Justru apa yang kita lakukan
lebih baik dari generasi sebelumnya, sehingga kita bisa memiliki
kebanggaan dan kecintaan sebagai bangsa Indonesia. Itu esensinya. Bukan
berarti tidak boleh bekerja di luar negeri karena tidak cinta Tanah Air.
Tetapi dia di luar negeri berbuat yang terbaik mengharumkan citra
bangsa Indonesia, dan akhirnya berkontribusi positif pada negeri ini.
Menurut Anda sebagai bagian dari pemuda, apa yang menjadi tugas utama generasi muda?
Tugas
utama jelas, kita (generasi muda TNI) ingin menjaga kedaulatan negara
kita, NKRI. Kita ingin menjaga integritas teritorial kita agar jangan
sampai pecah-pecah. Ditambah lagi kita menjaga agar seluruh rakyat
Indonesia dapat menikmati kehidupan perekonomian yang baik, yang juga
memiliki kebebasan, dalam artian bebas mengekspresikan dirinya dalam
konteks negara demokrasi yang semakin maju dan beradab.
Demokrasi beradab ini bisa dijelaskan lebih lanjut?
Kata
beradab ini penting karena tidak ada ukurannya seberapa negara itu
beradab, kita terus mengejar. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia,
artinya bukan hanya menjadi modern tapi juga berbudi pekerti luhur,
sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para leluhur pendahulu
kita.
Bagaimana Anda melihat globalisasi. Seperti apa generasi muda harus menyikapinya?
Tidak
bisa menunggu, buat apa menunggu waktu. Zaman semakin cepat. Sepuluh
tahun lalu kita tidak bisa membayangkan bagaimana dunia kita sekarang
seperti apa. Sepuluh tahun mendatang (akan) luar biasa, lebih kompleks
lagi.
Dua puluh tahun mendatang (lebih) luar biasa dinamikanya,
kalau kita tidak siap, maka kita hanya menjadi penonton. Lebih buruk
lagi kita bisa jadi pecundang. Kita tidak bisa retreat atau mundur dari
(era) globalisasi. Justru kita harus cerdas bagaimana melihat peluang
yang ditawarkan globalisasi di abad 21.
Kalau kita tidak punya
pemahaman itu maka kita menolak mentah-mentah, karena kita takut keluar
dari zona kenyamanan atau comfort zone. Karena kita ingin Indonesia
saja, tapi tidak bisa karena semua saling terhubung.
Kalau kita
bisa menjadi bagian dari konektivitas yang semakin luas dan semakin
dalam tadi, maka justru dengan sendirinya kita bisa menarik peluang ke
dalam negeri yang pada akhirnya bisa dirasakan bagi masyarakat luas
secara umum.
Tapi generasi muda kita masih suka tawuran?
Tawuran
tidak sepatutnya harus terjadi, di alam demokrasi ini segala sesuatu
permasalahan bisa dikomunikasikan, dicarikan solusinya. Kita harus bisa
mengendalikan solusi, saya tahu generasi muda masih mencari jadi
dirinya. Tapi ingat, harus disalurkan dengan baik. Peran keluarga
penting, peran sekolah penting, peran civil society seperti pemuka
agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya harus bisa menjadikan masyarakat
yang rukun.
Dengan kondisi saat ini, apakah masih bisa generasi muda kita bersaing?
Pasti. Karena Indonesia masih bisa bersaing, dan pemuda tidak kalah bahkan masih bisa unggul dengan negera-negara lain.
(mad/mad) detiknews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar