Akhir-akhir
ini, pemberitaan di media massa yang sedang menghangat salah satunya adalah isu
penyadapan Amerika terhadap Indonesia melalui Australia yang di bocorkan oleh
mantan kontraktor agen National Security
Agency (NSA), Edward Snowden yang kini berada di Rusia karena meminta
perlindungan pada pemerintah Rusia atau
Suaka. Snowden sebenarnya sudah membocorkan rahasia inteligen Amerika beberapa tahun yang lalu, namun tidak banyak
begitu menarik respon pemerintah Indonesia karena belum ada informasi yang
merugikan Indonesia. Rentetan dari masalah Indonesia disadap ketika Snowden
membocorkan isu penyadapan AS kepada Negara-negara anggota G20 saat forum tersebut
berlangsung di Vladivostok, Rusia. Kemudian berlanjut pada penyadapan Duta
besar Indonesia di London, Inggris. Sampai
penyadapan langsung pada Handphone Presiden SBY dan beberapa pejabat tinggi
Indonesia lainnya oleh NSA yang membuat “marah“
Presiden SBY. Akan tetapi kemarahan SBY tidak semarah Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brazil yang
terlebih dahulu disadap secara langsung memprotes keras bahkan Brazil
membatalkan pembelian pesawat tempur dari Amerika sebagai ekspresi kekecewaan
atas penyadapan itu.
Munculnya
bocoran kawat diplomatik AS pertama kali disebarkan oleh Surat kabar Inggris Guardian yang
terbit di London dan surat kabar Amerika Washington Post mengungkapkan bahwa
seorang warga Amerika berusia 29-tahun yang bekerja sebagai kontraktor pada
badan keamanan nasional Amerika, atau NSA, adalah orang yang membocorkan
rahasia pemantauan hubungan elektronik yang dilakukan oleh badan intelijen
Amerika itu yang kemudian dikutip oleh banyak media massa di
seluruh dunia termasuk TVone. Menurut laporan surat kabar itu,
pengungkapan identitas dan nama Edward Snowden itu dilakukan atas permintaannya
sendiri. Surat kabar Guardian mengutip Snowden mengatakan, “Tujuan saya
hanyalah untuk memberi tahu rakyat Amerika tentang hal-hal yang dilakukan atas
nama mereka, dan tindakan-tindakan yang akan merugikan mereka.”
Laporan-laporan yang dimuat harian
Guardian dan Washington Post dalam seminggu terakhir mengungkapkan adanya dua
program pemantauan yang dijalankan pemerintah Amerika. Pertama
adalah program pemantauan hubungan telpon ratusan juta rakyat Amerika tiap
hari, guna menciptakan suatu database untuk melihat apakah ada tersangka
terroris di luar negeri yang menghubungi orang di Amerika. Sementara yang kedua
adalah program yang diberi nama PRISM yang memungkinkan NSA dan FBI untuk
secara langsung menyadap sembilan jaringan internet Amerika untuk mengumpulkan
data tentang penggunaan saluran elektronik itu, termasuk penyadapan
audio, video, foto dan email, dan untuk mengetahui informasi apa saja yang
dicari orang. Tujuannya adalah untuk mencari kegiatan-kegiatan yang
mencurigakan yang datang dari luar negeri.
Awalnya
pemerintah Indonesia tidak menganggap serius semua bocoran whistleblower itu
walaupun sebenarnya pemerintah tahu dan harap-harap cemas namun pemerintah
berusaha tenang di hadapan media dan rakyat karena ini adalah isu yang sangat
sensitif. Sedangkan pemikiran masyarakat terhadap isu internasional sebagian
besar belum memahaminya secara menyeluruh dan bahayanya isu tersebut dapat
dimanfaatkan musuh politik SBY untuk menciptakan kegaduhan politik domestik
mengingat tahun pemilu 2014 sebentar lagi sehingga ini adalah kesempatan untuk
membangun citra pemimpin yang seolah anti-asing dan Nasionalis. Ketika
Snowden membocorkan kegiatan intelijen Negara-negara yang tergabung dalam “The
Five Eye “ yang melakukan penyadapan terhadap Negara “kawan” dan “lawan” yang terdiri
dari Amerika, Australia, Singapura, Jepang dan Kanada membuat geram SBY karena Australia langsung
menyadap handphone pribadi SBY bahkan
Ibu Ani Yudhoyono pun disadap. Sejumlah pihak menilai SBY lambat dan kurang
tegas dalam merespon penyadapan itu namun perlu diketahui bahwa SBY adalah
mantan petinggi intellijen ABRI dan bukan pemain baru di kancah
perpolitikan Internasional ini berarti
kalau SBY tahu betul soal aktivitas penyadapan dan bagaimana harus bertindak.
Dalam hubungan internasional ada dua
cara pandang atau paham yang dominan dari suatu Negara dalam memandang hubungan
antar Negara maupun kondisi dunia internasional. Pertama, Realisme yang
memandang dunia internasional adalah anarkhi dimana tidak ada world government
atau otoritas terpusat. Power adalah hal yang utama dalam menentukan posisi
suatu Negara, isu utama bersifat high politics seperti politik dan militer. State
actor adalah government to governmet (G
to G) dan tidak menganggap actor non-state sebagai pemain utama seperti NGO,
MNC dan indvidu. Menurut
Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah
munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Kalangan
realis-defensif semacam Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara
memiliki sedikit kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military
conquest). Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih
besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh Sedangkan realis ofensif
sebaliknya. Lalu, Liberalisme Dalam tulisan Walt mengulas mengenai perkembangan
teori ‘democratic peace’. Teori ini
berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun ia jarang
melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma demokrasi menentang
penggunaan kekerasan sesama mereka.
Itulah yang menyebabkan perdebatan, Jika realisme melihat konflik
sebagai kunci untuk memahami politik internasional (zero sum game) dan
liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting (positif sum game)
dan dimana realis menekankan negara sebagai actor utama dan liberalisme
menekankan pada ¬non-state actors. Secara geopolitik, dulu Amerika menganut
pemahaman dari Spykman
(1839-1943)
Teori Daerah Batas (Rimland theory) Teorinya dipengaruhi oleh Mackinder dan
Haushoffer, terutama dalam membagi daerah. Dalam teorinya tersirat bahwa: (a)
Dunia menurutnya terbagi 4 daerah, yaitu: Heartland, Offshore continents belt
(rimland), Oceanic belt dan New World (benua Amerika), (b) Menggunakan
kombinasi kekuatan darat, laut dan udara untuk kuasai dunia, (c) Daerah Rimland
akan lebih besar pengaruhnya dalam percaturan politik dunia daripada daerah
jantung, (d) Wilayah Amerika yang paling ideal dan menjadi negara terkuat.
Sedangkan Australia dipengaruhi oleh Mackinder: the power of maritime states,
jika ingin menguasai dunia harus menguasai world Islamd (Eurasia dan Asia) sama
halnya dengan Inggris[1].
Akan tetapi geopilitik abad 21 telah menyatukan pemahaman kedua Negara itu
yaitu konsep power global; konsep GPS (Geografi, Populasi, dan SDA) digantikan
oleh konsep ISR (Informasi intelijen, Surveillance, dan Reconnaissance) dan C4I
(Command, Control, Communications, Computer Processing, dan Intelijen). Geopolitik
kontemporer menggunakan para pemimpin dan elit pemerintahan untuk membentuk
identifikasi dan konsep atas geopolitik, yaitu konsep geopolitical-man.
Di masa kecanggihan teknologi, dunia akan menyaksikan bahwa kebijakan-kebijakan
penting akan diambil oleh kolektif manusia dan bahkan kolektif cyborg dalam
sebuah network ekonomi, sosial, politik[2].
Sedangkan konsep geopolitik Indonesia adalah wawasan nusantara yang lebih
menjunjung perdamaian.
Motif
Penyadapan
Pergeseran paradigma
geopoltik saat ini kepada masalah ekonomi rupanya menjadi main interest saat ini yang berimplikasi pada politik dan Militer.
Ini terlihat dari penyadapan Australia pada sejumlah pejabat tinggi Indonesia
banyaknya yang bergerak di bidang perekonomian. Secara implisit, masalah
ekonomi menyatukan pemahanan geopolitik ketiga Negara tersebut. Bisa kita lihat
dari konsep geopolitik Amerika terhadap Asia saat ini yaitu Counter Hegemony of China, Control on Malacca
as a strategic road, Counter Islamism (terrorism) like in Malaysia, Importance
of the role of ASEAN (peacemaking, peacekeeping, free trade) dan Indonesia
mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis untuk membantu Amerika dalam
menyelesaikan masalah tersebut sehingga mereka perlu memastikan hubungan dengan
Indonesia semakin kuat dan cara yang tepat melalui intelligen. Sedangkan
Kepentingan Australia paling dominan mengenai Imigran gelap, HAM Papua Barat,
Perdagangan dan Militer Indonesia yang semakin kuat. Tentunya bagi Australia
dan Amerika yang menganut paham realis memandang, peningkatan kekuatan militer
Negara lain adalah suatu ancaman maka harus cepat diketahui untuk mengamankan
kepentingan dirinya dan sekutu. Bagi Amerika ketakutan itu bermula dari
meningkatnya pengaruh China secara ekonomi dan militer di Asia terlebih China
membuat ulah dengan mengklaim Laut China Selatan sebagai kedaulatannya. Lalu
ingin mengetahui kedekatan Putin, Xi Jinping dan Yudhoyono mengenai masalah
militer. Oleh karena itu menurut sejumlah pengamat militer, tsk heran AS akan
mengalihkan 60% militernya di Asia Pasifik dan menambah 4000 marinir di Darwin.
Ini menunjukan sangat pentingnya Indonesia dan menjanjikannya kawasan asia
pasifik secara ekonomi dan militer.
Asing dan Kedaulatan Industri Komunikasi
Menurut
Merdeka.com - International Telecommunication User Group (INTUG) menilai
penyadapan terhadap jaringan telekomunikasi Indonesia akan terus terjadi selama
asing menguasai hampir 100 persen operator di Tanah Air. Itu dikarenakan
pembangunan infrastruktur dan penciptaan pasar di industri telekomunikasi
membutuhkan investasi yang tidak sedikit, sedangkan pemodal lokal kurang bisa
menanggungnya, maka wajar, berkat kekuatan modal yang dimiliki, kini hampir
semua operator seluler, baik Telkomsel, Indosat, XL, Tri, dan Axis dikuasai
oleh asing. Berdasarkan laporan keuangan operator, saat ini nilai kapitalisasi
pasar Telkomsel mencapai USD24 miliar atau sekitar Rp 240 triliun. Artinya,
dengan menguasai 35 persen saham Telkomsel, nilai kapitalisasi saham Singtel
mencapai USD 8 miliar atau Rp 80 triliun. Di luar Telkomsel, nilai investasi
Axiata Berhad yang memiliki 66 persen saham XL Axiata juga cukup besar. Dengan
kapitalisasi saham XL sekitar Rp 43 triliun, nilai saham Axiata di perusahaan
ini mencapai sekitar Rp 28 triliun.
Sementara Indosat dengan kapitalisasi pasar sekitar Rp 35 triliun
sebesar 65 persen atau Rp 23 triliun dimiliki oleh Ooredoo, investor asal
Qatar. Pemilik asing di tiga operator besar juga menguasai pelanggan
telekomunikasi di Indonesia, yang mana bila digabungkan menguasai hampir 90
persen pangsa pasar. Telkomsel saat ini telah mencatat jumlah pelanggan
terbesar dengan mencapai 125 juta pelanggan, PT Indosat Tbk dengan 55,9 juta
pelanggan, diikuti PT XL Axiata Tbk dengan 49,1 juta pelanggan, dan PT
Hutchison CP Telecommunications (Tri) serta PT Axis Telecom sebanyak 17 juta
pelanggan. Inilah salah satu penyebab yang paling penting mengapa kita mudah di
sadap kalau tidak ada bantuan pihak asing yang menguasai operator dan vendor
ponsel di Indonesia.
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang menurut
penulis menarik berdasarkan pendekatan teori Hubungan Internasional dan politik
internasional sebagai bagian dari penutup, yaitu :
1.
Setiap Negara
mempunyai perbedaan paham dalam memandang hubungan internasional dimana
Australia lebih realis (kerjasama, persaingan, saling curiga, military power)
dan Indonesia lebih Liberalis (kerjasama, perdamaian).
2.
Dalam Intelijen
kegiatan menyadap adalah hal biasa, pun demikian menurut hubungan internasional
yang mengacu kepada paham realis. Dalam pola pikir realis, setiap negara harus melakukan segala
cara, halal atau tidak halal, demi melindungi negaranya. Karena itu, dengan
pola pikir ini, setiap negara harus mempercanggih teknologinya supaya tidak
bisa disadap dan melakukan upaya kontra-spionase. Tapi pola pikir seperti ini
tidak akan membawa perdamaian dunia: dunia akan terus berkonflik. Dari sisi
hubungan internasional, mata-mata jelas tidak legal. Makanya banyak negara yang
menghukum mati mata-mata yang tertangkap. Masalahnya, bagaimana kalau yang
menjadi markas mata-mata itu justru kedubes? Kedubes di sebuah negara adalah
wilayah berdaulat; pemerintah negara tempat Kedubes berada tidak boleh masuk
tanpa seizin Kedubes. Di sisi lain, diplomasi memang sangat terkait dengan
kegiatan mata-mata. Sudah bukan rahasia lagi bila diplomat bertugas
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari negara tempatnya bertugas. Tapi,
mencari informasi ini bisa dengan cara halal (legal), bisa juga dengan
cara haram (misalnya, penyadapan ini). Nah, bagaimana status hukumnya? Hukumnya
ditetapkan oleh masing-masing negara (bisa dideportasi, dipenjara, atau bahkan
dihukum mati). Namun pelaksanaannya sangat bergantung kepada kekuatan
(power) negara masing-masing dan sudah jelas sang superpower
adalah Amerika Serikat maka dialah yang dominan sebagai penentu (TheGlobalReview).
3.
Sebagai seorang
akademisi, rasa skeptis harus tetap ada supaya pencarian tidak berhenti pada
satu titik. Begitupun dengan masalah ini, menurut beberapa sumber jika Snowden
merupakan bagian dari rencana AS supaya mampu masuk kedalam pusat informasi
strategis pada Negara yang melindunginya sehingga bisa mengetahui kelemahan Negara
tersebut dengan berpura-pura membocorkan rahasia AS pada dunia. Dalam dunia
militer atau intellijen dikenal false flag opprations (operasi bendera terbalik)
yaitu Bendera palsu
(atau bendera hitam) menggambarkan militer rahasia atau operasi paramiliter yang dirancang untuk menipu sedemikian rupa bahwa operasi muncul seolah-olah mereka sedang dilakukan oleh entitas lain, kelompok atau bangsa daripada
mereka yang benar-benar merencanakan dan mengeksekusi mereka. Operasi dilakukan selama
masa damai oleh organisasi sipil, serta instansi
pemerintah rahasia, mungkin
dengan ekstensi disebut operasi bendera palsu jika
mereka berusaha untuk menyembunyikan
organisasi sebenarnya di balik operasi
(Wikipedia). Seperti Julian Assange dengan mesin WikiLeaks-nya yang telah
'ketahuan' bahwa ternyata bocoran
Assange selalu dikonsultasikan dengan Paman Sam (TheGlobalReview), maka Snowden pun
dicurigai sebagai bagian dari false flag. Namun entah benar atau tidak karena
ini baru ekspektasi penulis saja mengingat AS sangat mahir dalam propaganda
terutama di era perang Asimetris saat ini.
4.
Dari segi militer, Australia menganggap peningkatan
militer Indonesia yang mengejar Minimmum Essential Force adalah suatu ancaman
yang menakutkan. Salah satunya Indonesia memdapat kredit $ 1 milliar dari Rusia
untuk membeli kapal kapal selam kelas kilo yang mempunyai daya perusak dahsyat
dimana Australia sendiri belum mempunyainya, selain itu juga pergerakan kapal
selam ini senyap dan tidak mudah
terlacak. Angkatan udara juga selalu unggul saat latihan gabungan dengan
Australia. Menurut sejumlah sumber, peringkat militer Indonesia jauh diatas
Australia namun jangan lantas membuat kita seakan menantang perang karena
Australia mempunyai 3 pakta pertahanan yang paling penting yaitu dengan Negara
Commenwealth, NATO, ANZUZ dengan AS.
Maka sebaiknya menurut hemat penulis yang paling penting dilakukan saat
ini adalah perkuat system keamanan kita baik cyber maupun fisik karena dalam
geopolitik abad 21 bangsa yang mempunyai keunggulan teknologi akan mendapat keuntungan , memprotes adalah
hal yang wajar namun terukur dan tetap dilkukan dalam menjunjung perdamaian mengingat setiap bangsa
mempunyai cara pendang yang berbeda dalam politik internasional dan kita tidak
bisa memaksakan kehendak kita. Jadi sebenarnya hal ini adalah biasa dalam
hubungan internasional dan dapat diselesaikan dengan diplomasi lalu introspeksi
diri adalah hal yang utama demi menjaga kedaulatan kita mengingat kita adalah
bangsa yang besar dan strategis dalam berbagai bidang. Globalisasi bukanlah
alasan untuk menghilangkan peran militer, akan tetapi seharusnya diperkuat
untuk menjaga asset nasional kita karena pertumbuhan ekonomi kita saat ini sangat
seksi untuk masa depan. Menurut Maurin Travelli “teruslah bertanya agar Negara tetap
jaya”
0 komentar:
Posting Komentar