
INTELIJEN.co.id - Asap hitam membubung di langit
Timika, papua. Penerbangan dari dan menuju Bandara Mozes Kilangin Timika
pun terganggu. Asap hitam itu, berasal dari tiga mobil kontainer yang
dibakar massa di ruas jalan dari Pelabuhan Portsite menuju Tembagapura,
tepatnya di Mil 28 samping Bandara Mozes Kilangin Timika dan di Terminal
Bus Gorong-gorong Timika.
Bandara Mozes Kilangin dan Terminal
Bus Gorong-gorong, merupakan fasilitas dan jalur utama transportasi
menuju lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura.
Di
lokasi itu, pada Senin 10 Oktober 2011, terjadi insiden berdarah.
Ribuan karyawan PT Freeport Indonesia dan kelompok masyarakat adat
pemilik hak ulayat wilayah tambang yang sedang melakukan aksi massa,
bentrok dengan aparat keamanan.
Massa yang datang dengan konvoi
jalan kaki dari Sekretariat SPSI PT Freeport di Jalan Perintis
Kemerdekaan Timika Indah, bermaksud naik ke lokasi tambang melalui
Terminal Gorong-gorong. Tujuan mereka adalah untuk menghentikan
sementara waktu operasional perusahaan.
Aksi massa terhenti di
pintu masuk Terminal Gorong-gorong. Pihak manajemen yang dibantu aparat
keamanan menghadang mereka. Aksi kemudian memanas dan terjadilah
bentrokan yang mengakibatkan seorang karyawan PT Freeport peserta aksi,
Piter Ayami Seba, tertembak aparat keamanan dan meninggal. Beberapa
orang lainnya, baik dari pihak karyawan maupun aparat, mengalami
luka-luka. Massa yang marah, akhirnya membakar tiga mobil kontainer
milik perusahaan dan memblokir ruas jalan Mil 28.
Hingga saat
ini, aksi pemblokiran di ruas jalan yang menjadi akses utama menuju
lokasi pertambangan Freeport di Tembagapura tersebut, diberitakan masih
terus berlangsung. Pihak perusahaan, seperti disampaikan Presiden
Direktur & CEO PT Freeport Indonesia, Armando Mahler, di Timika,
mengimbau agar aksi pemblokiran segera dibuka. Sebab, menurutnya,
pemblokiran akan dapat menghambat suplai logistik, makanan dan
obat-obatan termasuk bahan bakar untuk pesawat dari Pelabuhan Porsite
Amamapare ke Timika dan Tembagapura.
Melalui videoconference yang
disiarkan kantor PT Freeport di Jakarta, juga digambarkan kondisi
karyawan di dalam lokasi pertambangan yang terblokir. Mereka, seperti
disiarkan dalam videoconfence, merasa sangat tertekan.
Aparat
keamanan juga terus melakukan negosiasi, agar pemblokiran dibuka. Tim
Asistensi dari Mabes Polri, yang diketuai oleh Brigjen Pol Paulus
Waterpauw ikut turun tangan melakukan pendekatan terhadap kelompok
masyarakat yang memblokir.
Buntut Konflik
Insiden
berdarah di Trerminal Gorong-gorong Timika, dapat dikatakan sebagai
buntut konflik antara karyawan dan manajemen perusahaan tambang asal
Amerika Serikat tersebut, yang tak kunjung terseleseikan.
Sejak
sekitar April lalu, mencuat tuntutan sebagian karyawan PT Freeport.
Melalui SPSI perusahaan ini, para karyawan menuntut perbaikan
kesejahteraan kepada pihak manajemen. Selain itu para karyawan, yang
sebagian besar merupakan warga Papua, meminta lahan hak ulayat.
Sampai
beberapa bulan, pihak manajemen PT Freeport belum memberikan tanggapan.
Maka, sejak tanggal 15 September ribuan karyawan yang diorganisasi SPSI
perusahaan ini, melakukan aksi mogok kerja di Timika.
Konflik
antara karyawan dan manajemen PT Freeport yang meruncing ini, mendorong
pihak ahli waris pemilik hak ulayat atas lokasi tambang PT Freeport
Indonesia di Tembagapura hingga Grasberg (Bug Negel) terlibat
menyeleseikan. Pada 23 September, Bug Negel, Silas Natkime, mengirimkan
surat kesediaan memfasilitasi penyeleseian konflik kepada pemegang saham
PT Freeport McMoRan Copper & Gold, James R. Moffet, di New Orleans
Amerika Serikat.
Silas adalah putra kandung Tuarek Natkime selaku
pemilik ulayat atas areal pertambangan PT Freeport di Tembagapura,
Mimika, Papua. Ia mengatakan, sangat prihatin dengan masalah yang saat
ini terjadi di lingkungan PT Freeport dan tidak menginginkan aset dan
lambang perusahaan tambang ini dihancurkan.
Tidak hanya pihak
ahli waris tanah ulayat, konflik Freeport bahkan mendorong Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua mengeluarkan
rekomendasi atas konflik yang tak kunjung selesei. Lembaga perwakilan
resmi rakyat dan kelompok adat di Papua ini, dalam pertemuannya pada 7
Oktober di Jayapura, meminta PT Freeport untuk menghentikan sementara
operasionalnya sampai ada penyeleseian konfliknya dengan karyawan.
Rekomendasi
itulah yang menjadi salah satu dasar karyawan dalam melakukan aksi pada
10 Oktober, karena dikabarkan PT Freeport terus melakukan operasional
perusahaannya, bahkan dengan mendatangkan tenaga-tenaga baru dari luar
Papua.
Penembakan
Beberapa hari setelah
insiden berdarah di Terminal Gorong-gorong, muncul insiden lain, juga di
lokasi PT Freeport. Sebuah mobil milik Departemen Manajemen Keamanan
dan Resiko Manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini,
dikabarkan ditembak orang tak dikenal.
Insiden Penembakan terjadi
di Mil 37 ruas jalan Tanggul Timur menuju Kampung Nayaro, Mimika, Papua
pada Jumat, 14 Oktober 2011, sekitar siang hari. Tiga orang karyawan
perusahaan kontraktor PT Freeport dikabarkan meninggal. Sedangkan dua
orang petugas keamanan dikabarkan terluka tembak.
Pihak PT
Freeport Indonesia, membenarkan terjadinya insiden penembakan tersebut
dan meminta pihak aparat berwenang mengusut tuntas kasus itu. Pihak
perusahaan menyebut kasus penembakan yang sudah beberapa kali terjadi di
lokasi pertambangan ini, sebagai bentuk teror.
Dalam
pencermatan PT Freeport, sejak 8 Juli 2009, insiden penembakan sudah
menyebabkan 8 orang meninggal dan sekitar 40 orang lainnya luka-luka,
dari karyawan PT Freeport maupun perusahaan kontraktornya. Dan, selama
dua tahun tersebut, pelaku penembakan disebutkan belum terungkap.
Renegosiasi
Meruncing dan belum adanya tanda-tanda penyeleseian konflik antara karyawan dan manajemen PT
Freeport
Indonesia, memang memunculkan tanda tanya. Beberapa pernyataan dari
pihak perusahaan ini, memang terlihat masih keberatan dengan tuntutan
karyawan.
Tuntutan menanaikkan kesejahteraan karyawan dan
permintaan hak lahan tanah ulayat oleh sebagian kelompok masyarakat
Papua, dirasa akan berpengaruh besar terhadap biaya produksi perusahaan
yang sudah beroperasi selama lima dasawarsa di Papua tersebut. Pihak
Freeport juga menyatakan akan menindak tegas karyawannya yang
menghalangi karyawan lain untuk terus bekerja.
Hanya saja,
terkait tuntutan lahan tanah hak ulayat, secara tidak langsung sudah
dapat diredam. Hal ini terlihat dari pernyataan Bug Negel, Silas
Natkime, setelah terjadinya insiden berdarah. Silas meminta kepada
kelompok-kelompok masyarakat lain (tujuh kelompok sempat disebutkan
terlibat dalam aksi 10 Oktober) untuk tidak terlibat dalam konflik
Freeport. Menurutnya, konflik Freeport, murni terjadi antara SPSI dan
manajemen.
Menarik juga untuk dicermati, bahwa muncuatnya konflik
ini, seiring dengan adanya usaha renegosiasi kontrak-kontrak tambang di
Indonesia. Seperti diketahui, saat ini Pemerintah Indonesia sedang
mengupayakan adanya negosiasi ulang kontrak tambang untuk lebih
memberikan keuntungan kepada negara.
Renegosiasi menurut Direktur
Jendral Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Thamrin Sihite, setidaknya mencakup beberapa hal. Diantaranya,
luas wilayah, royalti, divestasi, jasa nasional, dan jangka waktu.
Untuk
royalti, misalnya, pemerintah, menginginkan agar renegosiasi bisa
mendorong perusahaan tambang membayarnya dengan benar. Berdasarkan PP
Nomer 13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas
3,75 persen, dan perak 3,25 persen. Selain itu juga ada Peraturan
Pemerintah Nomer 45 Tahun 2003 mengenai Tarif Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP).
Sejauh ini, menurut Thamrin, usaha renegosiasi
tersebut, sudah menjadi komitmen sekitar 65 persen perusahaan
pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Hanya, PT Freeport Indonesia
dan PT Newmont Nusa Tenggara, hingga kini belum mau mengeluarkan
komitmen renegosiasi yang sedang diusahakan pemerintah.