Dalam Politik Internasional, kita mengenal konsep Balance of power atau Perimbangan kekuatan/kekuasaan yang dipengaruhi oleh paham realisme, konsep ini sangat terkenal ketika dunia mempunyai beberapa pusat kekuatan selain Amerika Serikat. Kita akan mengananalisis konsep ini sejauh mana relevansinya dengan kondisi saat ini. Berikut adalah materi dari perkuliahan politik internasional.
Deskripsi
Harus dibedakan antara balance of
power yang berhubungan dengan pemerintahan kota (municipal) di satu
pihak dengan sistem balance of power internasional di pihak lain.Dalam sistem nasional dan municipal,
aktor-aktor politik – antara lain individu-individu, perusahaan-perusahaan,
pemerintahan-pemerintahan kota, kelompok-kelompok etnis, atau rasial,
partai-partai politik, persatuan-persatuan buruh dsb. – tidak otonom, karena
mereka tunduk kepada otoritas pusat yang kuat dan biasanya legitimate. Sebaliknya, menurut ‘hukum-hukum’ balance
of power internasional, tidak ada otorita atau kekuasaan sentral yang
mengendalikan negara-negar bangsa. Regulator dalam pergaulan internasional
adalah keinginan negara-negara bangsa demi keuntungan dan keaman serta
kekhawatiran mereka terhadap konflik serta berbagai konsekuensinya. Sistem balance of power menyediakan berbagai alternatif bagi para policy
makers, apakah mengarah kepada perang atau berusaha menyelesaikan
pertikaian melalui cara-cara yang acceptable melalui negoisasi. Sistem balance of power juga bisa
dianggap berada diantara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan
internasional (international chaos). Keteraturan dunia (world order)
membutuhkan suatu otoritas pusat yang cukup mampu menetapkan suatu tata tertib
bagi aktor-aktor politik.
Ketidakteraturan dunia berarti bahwa
aktor-aktor politik hanya bisa dikendalikan atau dibatasi oleh hukum rimba,
yaitu siapa yang kuat, cerdas, dan gesit akan berkembang dan makmur, sedangkan
yang lemah dan bodoh dan pendiam akan menderita dan mati. Sistem balance of power sebagai
suatu bentuk urutan kekuasaan negara-bangsa yang fleksibel dan informal yang
disusun penurunan kapabilitas dan kekuasaan potensial. Sebaliknya, yang lebih
kuat di antara negara-negara tadi secara informal sepakat untuk melanjutkan status
quo tersebut.
Konsep Balance Of Power
Ernst Haas dalam “The balance of Power:
Prescription Concept, or Propaganda? Mengasumsikan empat prasyarat bagi
eksistensi sistem the balance of power yang telah dikemukakan dalam
literatur-literatur hubungan internasional yaitu:Suatu
multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak
adanya satu otorita yang kuat, terpusat, dan legitimate yang menguasai
aktor-aktor tsb.
1. Distribusi
kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran,
kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem
tadi.
2. Distribusi kekuatan yang tidak seimbang itu bisa digunakan untuk
membeda-bedakan negara ke dalam tiga kategori, yaitu: negara besar great
powers), negara menengah (intermediate powers), dan negara-negara bangsa
yang kecil.
3. Persaingan
dan konflik yang berkesinambungan – namun terkendali – diantara
aktor-aktor politik yang berdaulat tadi, dikarenakan adanya persepsi bahwa
dunia merupakan sumber-sumber yang langka serta persepsi mengenai
nilai-nilai lainnya.
4. Suatu
pemahaman implisit di antara para pemimpin negara-negara besar bahwa
kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.
Balance of power dalam Sejarah Modern
1. Antara
1648 (Perjanjian Westphali) sampai 1789 (revolusi Perancis) bisa dianggap
sebagai jaman keemasan sistem balance of power klasik yang pertama.
2. 1815
– 1914, bisa dianggap sebagai jaman keemasan kedua sistem balance of power
klasik. Perancis, dengan berdirinya kembali dinasti Bourbon, diijinkan tetap
menduduki peringkat negara besar. Negara-negara tsb. Antara lain Inggris,
Prusia, Austria – Hongaria, dan Rusia.
3. Masa
dua perang dunia di abad 20, bisa dianggap sebagai abad revolusioner.
Kekuatan-kekuatan yang mendestabilisasi pada abad ke 20, terutama berasal dari
nasionalisme imperialis yang dirasionalisasikan dalam ideologi-ideologi yang
bersifat memberantas dan eksklusivis. Pada awal abad tersebut terdapat – paling
tidak – 3 macam pergerakan yaitu: Fasisme Italia dan Jerman di bawah
kepemimpinan Mussolini dan Hitler, komunisme Uni Soviet dan China, serta
kapitalisme perdagangan bebas pasca Perang Dunia II yang dipimpin oleh
Asbeserta sekutu-sekutu utamanya.
4. Masa
Perang Dingin, kedahsyatan senjata nuklir sejak perang dunia II sangat
berpengaruh dalam meredam konflik Perang Dingin AS – US yang sudah diambang
perang nuklir global (krisis rudal Kuba – 1962).
5. Masa
Pasca Perang Dingin ?
Balance of Power dalam Sistem Internasional Model
Kaplan
1. Model Oligopolar atau Balance of Power klasik.
Sistem internasional meliputi paling tidak 5 kekuatan besar dan tidak ada
organisasi regional (seperti Masyarakat Eropa) atau organisasi internasional
(seperti PBB). Aliansi-aliansi dalam sistem tersebut cenderung besifat spesifik
dan masa berlakunya singkat, dan aliansi-aliansi tersebut cenderung bergeser
berdasarka kemajuan yang bersifat pragmatis dan bukan yang bersifat ideologis.
2. Model Bipolar Longgar. Model ini disebut juga Perang
Dingin, yang mencirikan sejarah dunia sejak 1974 sampai dengan 1971. Model ini
berjalan ketika sistem internasional memiliki dua superpower. Masing-masing
superpower tersebut bertindak sebagai sekutu, pelindung, dan bahkan
pengontrol sejumlah negara-negara yang lebih lemah yang termasuk ke dalam blok
nya.
3. Model Bipolar ketat,
asumsinya yang utama adalah bahwa semua negara-negara nonblok akan terserap masuk kedalam salah satu blok.
Model ini bisa diumpamakan sebagai suatu dunia yang seluruhnya dibagi oleh dua
kerajaan besar, yang satu dikepalai oleh Washington, dan yang lain oleh Moscow.
Dalam sistem ni kedua negara superpower secara formal akan sepakat
untuk mengurangi berbagai perbedaan yang bersifat ideologis dan bekerjasama
dalam mengelola daerah masing-masing serta menjaga sistem internasional demi
kepentingan masing-masing.
4. Model Veto Unit atau
Proliverasi. Sistem internasional ini melukiskan dimana banyak negara yang
memiliki kapabilitas senjata nuklir, mereka gunakan untuk menghalangi politik
negara lain. Model ini akan menciptakan iklim dimana masing-masing negara bisa
mengancam yang lain –untuk mati bersama – apabila keinginannya tidak
ditanggapi. Kesempatan untuk musnah dalam sistem ini yang diakibatkan oleh
kesalahan perhitungan, irrasionalitas, sikap keras kepala dan kecelakaan adalah
sangat tinggi. Karena khawatir akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan
terjadinya perang nuklir akibat salah pengertian, maka negara-negara cenderung
akan membatasi kontak hubungan mereka melalui sistem veto-unit. Sistem
ini bisa meningkat kepada proporsi yang lebih menakutkan andaikata aktor-aktor
sub-nasional memiliki senjata nuklir dan alat-alat lain yang kejam namun
efektif dalam menembakkannya. Aktor-aktor tersebut antara lain adalah: teroris
atau kelompok pembebasan, organisasi-organisasi kejahatan seperti mafia,
perusahaan-perusahaan multinasional, minoritas etnik, atau orang-orang gila
yang menginginkan terjadinya pembunuhan manusia secara besar-besaran.
5. Model Keamanan Kolektif
(collective security model). Sebuah model yang ideal dengan membayangkan
bahwa PBB berjalan menurut cita-cita mulia para pendirinya. Model keamanan
kolektif ini memerlukan suatu sistem pengaturanyang bersifat sukarela. Dalam
sistem ini kekuatan militer tidak akan diperkenankan menjadi alat kekuatan
politik; tidak ada aliansi jangka pendek maupun panjang; setiap agresi yang
dilakukan suatu negara terhadap negara lain akan dihukum dengan sanksi-sanksi
ekonomi dan militer yang ditetapkan secara kolektif oleh semua negara. Karena
itu, sistem ini akan merupakan sistem yang relatif aman sepanjang masa. Dalam
lingkungan dimana ada keamanan kolektif seperti itu, PBB atau penggantinya akan
jauh lebih efektif dalam menyelesaikan perselisihan internasional secara
damai.
Menakar Relevansi Balance of Power
Balance of power adalah salah satu
teori hubungan internasional yang menekankan pada efektifitas kontrol terhadap kekuatan
sebuah Negara oleh kekuatan Negara-negara lain. Trrminologi balance of power
merujuk pada distribusi kapabilitas Negara pesaing maupun aliansi yang ada.
Semisal, Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang memiliki perseibangan kekuatan
yang sama selama masa Perang Dingin tahun 1970an-1980an. Persaingan kedua
adidaya tersebut semasa itu, membentuk sebuah keberlangsungan control terhadap
perseimbangan kekuatan militer internasional.
Adapun teori Balance Of Power
(Keseimbangan kekuatan) memiliki asumsi dasar bahwa ketika sebuah Negara atau
aliansi Negara meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif,
Negara-negara yang merasa terancam akan merespon dengan meningkatkan kekuatan
mereka. Hal ini dikenal dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan Jerman menjelang
Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang memicu formasi koalisi anti-Jerman yang
terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa
Negara lain.
Signifikasi Balance of Power dalam Hubungan Internasional
Berlandas kepada teori Balance of
Power, Negara hendaknya merespon ancaman yang muncul terhadap pertahanan
dan keamanannya dengan jalan meningkatkan kapabilitas kekuatan militer sembari
melakukan aliansi dengan Negara-negara lain. Kebijakan sebuah
Negara dalam usaha membangun aliansi berbasis geo-strategi guna mempertahankan
territorial dari ancaman ekspansi dikenal dengan istilah containment policy. Hal ini dapat
dilihat secara kongkrit ketika Amerika Serikat menerapkan containment policy
terhadap ancaman sosialisme komunis Uni Sovyet dengan melakukan aliansi dengan
Negara-negara di kawasan Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Berikut juga upaya
Amerika Serikat yang menginkatkan kapasitas kekuatan militer dan
persenjataannya selama Perang Dingin.
Secara teoritis, balance of power
menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan internasional khususnya upaya
sebuah Negara yang hendak menguasai sebuah kawasan tertentu, akan dapat
menstrimulir aksi counter-balancing dari satu Negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses
perseimbangan kekuatan dapat mendorong terciptanya dan terjaganya stabilitas
hubungan antar Negara yang beraliansi alias merasa terancam.
Terdapat
dua keadaan dimana system balance of power dapat berfungsi secara efektif. Pertama, sekelompok Negara dapat membentuk
perseimbangan kekuatan ketika aliansi telah mencair. Dengan begitu relative
mudah untuk pecah maupun terbentuk kembali tergantung pada landasan pragmatis
masing-masing Negara. Hal ini meski harus menafikkan factor nilai, agama,
sejarah, hingga bahkan bentuk pemerintahan. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa
bisa jadi sebuah Negara memerankan peran dominan dalam counter-balancing
sebagai Inggris pada abad XVIII hingga abad XIX.
Kedua, yakni dua Negara berbeda dapat
saling melakukan perseimbangan kekuatan dengan cara menyesuaikan kekuatan
militer masing-masing antara yang satu dengan yang lain. Kita dapat menilik bagaimana
Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang secara bersamaan melakukan peningkatan
kapabilitas militer untuk saling bersaing memperoleh posisi terkuat di dunia
saat Perang Dingin berlangsung.
Sebuah kelemahan telak dari konsep
balance of power adalah menilai kekuatan sebuah Negara sebagai ukuran dari
sebuah proses perseimbangan kekuatan. Meski dapat dikatakan secara sederhana, seperti yang
dipaparkan oleh Morgenthau, penggagas teori balance of power, bahwa kekuatan
nasional diukur dari ukuran geografi wilayah, populasi penduduk yang dimiliki,
serta tingkat kemajuan teknologi sebuah Negara atau aliansi sebuah kekuatan.
Adapun kapasistas ekonomi masih dilihat kabur oleh Morgenthau sendiri karena
ekonomi diterjemahkan lebih kepada bagaimana kapabilitas militer dapat
terbangun olehnya.
Relevansi Historis Balance of Power
Pada
dasarnya teori balance of power memiliki relevansi historis, yang padanya
Morgenthau terinspirasi. Selama periode Perang di Cina tahun 403-221 Sebelum
Masehi, yakni antara lima Negara di daratan Cina yang saling bersaing kekuatan
militer serta hendak saling menguasai antara satu dengan yang lain. Perang
Peloponesian tahun 431-404 Sebelum Masehi juga menjadi fakta sejarah yang
serupa tentang bagaimana kemunculan kekuatan Atena mengstimulir formasi koalisi
Negara Kota sekitar yang terancam.
Persaingan
imperium Roma dan Persia selama bertahun-tahun juga dapat menjadi alternative
fakta sejarah bagaiman perseimbangan kekuatan antar dua Negara adidaya saling
bersaing. Ditambah lagi dinasti Habsburg di abad XVII yang menguasai Austria
dan Spanyol yang kala itu mengancam akan mendominasi daratan Eropa. Muncullah
koalisi kekuatan antara Swedia, Inggris, Perancis, dan Belanda yang kemudian
terlibat dalam perang 30 tahun dari 1618-1648. Koalisi tersebut kemudian
mengalahkan imperium Hasburg.
Menakar Relevansi Balance of Power hari ini
Sejak
runtuhnya Uni Sovyet menjadi pertanda berakhirnya Perang Dingin dengan adidaya
Amerika Serikat. Merujuk kepada teori balance of power, dominasi kekuatan AS
akan menstimulir munculnya koalisi baru di dunia internasional. Muncullah yang
kita kenal dengan Uni Eropa, yang telah lama didirikan, namun semakin menguat
pelembagaannya menjelang akhir abad XX. Berikut pula kekuatan Cina Daratan,
Russia, dan Perancis.
Akan
tetapi, semua kekuatan dan koalisi tersebut belum signifikan disbanding
kekuatan militer AS yang begitu jauh jika hendak dibandingkan dengan lain
manapun di belahan dunia. Tendensi koalisi Negara-negara Eropa lebih berwarna
dan bermotivasi ekonomi. Jadi, factor kekuatan militer AS tidak menstimulir
upaya perseimbangan oleh koalisi Negara-negara lain di dunia, termasuk Eropa
bahkan.
Dengan
begitu balance of power telah kehilangan salah satu pilar bangunan argumennya
yakni bahwa kekuatan militer sebuah Negara akan direnspon balik oleh Negara
atau koalisi beberapa Negara yang merasa terancam dengan kekuatan serupa. Eropa
justru menerapkan mata uang regional, yang kita kenal dengan Euro, dan bukan
penyatuan kekuatan regional dalam hal militer.
Secara
lebih ringkas dan gambling, terdapat beberapa irrelevansi teori balance of
power dalam konteks kekinian.
1 1. Kekuatan Militer bukan lagi menjadi perhatian utama
Negara bangsa
Di
era globalisasi multi dimensional, kecenderungan Negara bangsa berubah drastic.
Kekuatan militer tidak lagi menjadi sebuah perhatian utama. Faktor geo-strategi
yang dulu menjadi pertimbangan penting begitu memudar secara signifikan akibat
perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Sebagai gantinya, Negara
bangsa lebih memperhatikan bagaimana membangun produktifitas ekonomi dan
perdagangan secara lebih terbuka. Jadi bukan lagi untuk menjadi yang terkuat
secara militer, namun lebih kepada yang terkuat secara ekonomi.
2. Kecenderungan agresif lebih kepada bidang ekonomi dan
perdagangan
Kecenderungan
agresif yang digambarkan oleh Balance of power tidak lagi menjadi factual di
era sekarang ini. Agresifitas lebih diwarnai dengan upaya membangun pasar baru
di Negara luar untuk kebutuhan distribusi barang dan ekspansi modal.
Pelembagaan Uni Eropa dengan menyatukan mata uang nya menjadi Euro, merupakan
sebuah indicator yang nyata. Disusul kemudian regionalisasi ekonomi
kawasan-kawasan baik dalam bentuk Pasar Bebas seperti AFTA, FTA, dan lain
sebagainya.
3. Respon counter balancing sangat dipengaruhi oleh
factor domestic sebuah Negara
Respon
counter balancing tidak berlaku lagi. Meski untuk beberapa kasus masij terjadi
seperti perselisihan perbatasan antara India dan Pakistan yang kemudia
menimbulkan konstestasi persenjataan antara kedua Negara tersebut. Namun hal
ini sangat kasuistik dan diwarnai oleh latar belakang sejarah yang cukup panjang.
Referensi
Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, 1986, Introduction
to International Relations: Power and Justice, Prentice-Hall Inc.,
Englewood Cliffs, N.J, U.S.A.
1 komentar:
assalamu'alaikum kak, saya mau tanya mengenai teori balnce of power, karena saya masih belum paham, maaf kak kami kekurangan sumber buku mengenai teori balnce of power untuk referensi dalam penyusunan tugas akhir saya kak, mohon bantuannya kak
Posting Komentar