REPUBLIKA.CO.ID,Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah
menyisakan dua kubu besar di kalangan internasional. Kubu pertama, yakni
mereka yang ingin menyerang Suriah dan kelompok kedua, yang menentang
invasi. Kubu pertama dipimpin oleh Amerika Serikat, Prancis, dan
Inggris. Hanya, kongres Inggris menolak keinginan Perdana Menteri
Inggris David Cameron untuk terlibat dalam penyerangan. Sejumlah negara
Teluk, seperti Arab Saudi dan Qatar, diketahui telah sejak lama memasok
senjata buat oposisi.
Kubu kedua, yakni kelompok negara yang menentang serangan tersebut. Rusia merupakan negara yang berdiri paling depan dalam barisan ini, selain Cina dan Iran. Bagi Rusia, Suriah merupakan pertaruhan gengsinya dengan AS. Berbeda dengan Iran yang memiliki kedekatan secara aliran dengan Presiden Bashar al-Assad (sama-sama Syiah), Rusia memiliki hubungan bisnis dan historis yang cukup panjang dengan rezim Assad.
Hubungan Rusia (dulu Uni Soviet) telah berlangsung selama beberapa dekade, bahkan sejak ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad, berkuasa. Pada 1972, Hafez al-Assad telah menandatangani perjanjian pakta pertahanan keamanan dengan Rusia. Selama era itu, Moskow mengirimkan senjata senilai 135 juta dolar AS ke Damaskus. Pada 1980, Assad dan Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev bahkan menandatangani pakta kerja sama lanjutan selama 20 tahun terakhir.
Pemimpin Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, pada 1987 pernah mengatakan menjamin akan terus melanjutkan bantuan ekonomi dan militernya untuk Suriah. Janji ini terus dipegang hingga Hafez al-Assad digantikan oleh Bashar al-Assad. Di sisi lain, partai politik di Suriah dikuasai oleh Partai Bath yang dikategorikan masuk dalam kelompok sayap kiri. Kedekatan pandangan atau ideologi politik dengan Uni Soviet ini merekatkan keduanya. Selain dengan Suriah, Uni Soviet juga dekat dengan rezim Irak Saddam Husein yang telah diluluhlantakkan oleh AS dan sekutu.
Karena itu, jika Assad berhasil digulingkan dan Suriah berhasil ditaklukkan Barat dan sekutunya, ini bisa menjadi tamparan besar buat Presiden Rusia Vladimir Putin. Padahal, Putin telah berjanji akan mengembalikan masa kejayaan Rusia setelah sebelumnya, Negeri Beruang Merah itu bergelut dalam persoalan ekonomi.
Washington Post menulis ada empat alasan mengapa Rusia ingin melindungi Assad. Pertama, Rusia memiliki pangkalan di Suriah yang cukup strategis. Pangkalan ini merupakan markas militer terakhir Rusia di luar negara-negara Uni Soviet. Kedua, Rusia masih memiliki jiwa mental perang dingin. Dia ingin tetap mempertahankan aliansi militer terakhirnya. Ketiga, Rusia membenci ide intervensi Barat seperti yang dilakukan terhadap Suriah. Keempat, Suriah telah membeli perlengkapan militer cukup besar dari Rusia. Sejak abad 20, Rusia mungkin telah menjual lebih dari 1,5 miliar dolar AS senjata ke Suriah. Belakangan, Rusia dikabarkan telah menjual pesawat tempur MiG-29 dan s-300 ke Suriah.
Dalam tanggapan terakhirnya soal rencana serangan Barat ke Suriah, Putin meminta AS dan sekutunya agar membuktikan terlebih dahulu apakah Assad benar menggunakan senjata kimia ataukah tidak. Dia juga menilai ini hanya provokasi dari negara-negara tertentu. Rusia merupakan salah satu negara tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Rusia bersama Cina berulang kali mengeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusinya. Kecurigaan Putin bahwa senjata kimia itu merupakan propaganda kelompok tertentu dapat dimaklumi. Karena, memang saat insiden serangan senjata kimia itu berlangsung, masih memiliki posisi cukup kuat dan tidak dalam keadaan terdesak.
Media Iran, Press TV dalam salah satu artikelnya mengatakan, senjata kimia berasal dari intelijen Arab Saudi. Laporan ini memang tidak sepenuhnya bisa diterima. Namun, konflik di Suriah bisa menguntungkan Arab Saudi, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari naiknya harga minyak sedangkan dari politik, jika Assad jatuh, mereka akan menambah satu sekutu baru di negara Arab.
Kini, bola terakhir ada di tangan AS dan Rusia. Jika AS menyerang dan Rusia membalas dengan memberikan bantuan ke tentara Assad, ini bisa menjadi babak baru perang di Timur Tengah. Perang ini bisa melibatkan Iran, Hezbullah Lebanon, yang mendukung Assad melawan kelompok Suni Arab yang didukung Barat.
Kubu kedua, yakni kelompok negara yang menentang serangan tersebut. Rusia merupakan negara yang berdiri paling depan dalam barisan ini, selain Cina dan Iran. Bagi Rusia, Suriah merupakan pertaruhan gengsinya dengan AS. Berbeda dengan Iran yang memiliki kedekatan secara aliran dengan Presiden Bashar al-Assad (sama-sama Syiah), Rusia memiliki hubungan bisnis dan historis yang cukup panjang dengan rezim Assad.
Hubungan Rusia (dulu Uni Soviet) telah berlangsung selama beberapa dekade, bahkan sejak ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad, berkuasa. Pada 1972, Hafez al-Assad telah menandatangani perjanjian pakta pertahanan keamanan dengan Rusia. Selama era itu, Moskow mengirimkan senjata senilai 135 juta dolar AS ke Damaskus. Pada 1980, Assad dan Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev bahkan menandatangani pakta kerja sama lanjutan selama 20 tahun terakhir.
Pemimpin Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, pada 1987 pernah mengatakan menjamin akan terus melanjutkan bantuan ekonomi dan militernya untuk Suriah. Janji ini terus dipegang hingga Hafez al-Assad digantikan oleh Bashar al-Assad. Di sisi lain, partai politik di Suriah dikuasai oleh Partai Bath yang dikategorikan masuk dalam kelompok sayap kiri. Kedekatan pandangan atau ideologi politik dengan Uni Soviet ini merekatkan keduanya. Selain dengan Suriah, Uni Soviet juga dekat dengan rezim Irak Saddam Husein yang telah diluluhlantakkan oleh AS dan sekutu.
Karena itu, jika Assad berhasil digulingkan dan Suriah berhasil ditaklukkan Barat dan sekutunya, ini bisa menjadi tamparan besar buat Presiden Rusia Vladimir Putin. Padahal, Putin telah berjanji akan mengembalikan masa kejayaan Rusia setelah sebelumnya, Negeri Beruang Merah itu bergelut dalam persoalan ekonomi.
Washington Post menulis ada empat alasan mengapa Rusia ingin melindungi Assad. Pertama, Rusia memiliki pangkalan di Suriah yang cukup strategis. Pangkalan ini merupakan markas militer terakhir Rusia di luar negara-negara Uni Soviet. Kedua, Rusia masih memiliki jiwa mental perang dingin. Dia ingin tetap mempertahankan aliansi militer terakhirnya. Ketiga, Rusia membenci ide intervensi Barat seperti yang dilakukan terhadap Suriah. Keempat, Suriah telah membeli perlengkapan militer cukup besar dari Rusia. Sejak abad 20, Rusia mungkin telah menjual lebih dari 1,5 miliar dolar AS senjata ke Suriah. Belakangan, Rusia dikabarkan telah menjual pesawat tempur MiG-29 dan s-300 ke Suriah.
Dalam tanggapan terakhirnya soal rencana serangan Barat ke Suriah, Putin meminta AS dan sekutunya agar membuktikan terlebih dahulu apakah Assad benar menggunakan senjata kimia ataukah tidak. Dia juga menilai ini hanya provokasi dari negara-negara tertentu. Rusia merupakan salah satu negara tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Rusia bersama Cina berulang kali mengeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusinya. Kecurigaan Putin bahwa senjata kimia itu merupakan propaganda kelompok tertentu dapat dimaklumi. Karena, memang saat insiden serangan senjata kimia itu berlangsung, masih memiliki posisi cukup kuat dan tidak dalam keadaan terdesak.
Media Iran, Press TV dalam salah satu artikelnya mengatakan, senjata kimia berasal dari intelijen Arab Saudi. Laporan ini memang tidak sepenuhnya bisa diterima. Namun, konflik di Suriah bisa menguntungkan Arab Saudi, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari naiknya harga minyak sedangkan dari politik, jika Assad jatuh, mereka akan menambah satu sekutu baru di negara Arab.
Kini, bola terakhir ada di tangan AS dan Rusia. Jika AS menyerang dan Rusia membalas dengan memberikan bantuan ke tentara Assad, ini bisa menjadi babak baru perang di Timur Tengah. Perang ini bisa melibatkan Iran, Hezbullah Lebanon, yang mendukung Assad melawan kelompok Suni Arab yang didukung Barat.
Akibatnya
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK---Harga minyak naik pada Selasa (Rabu
pagi WIB), setelah Presiden AS Barack Obama mendapat dukungan dari
anggota parlemen oposisi Partai Republik untuk serangan militer terhadap
Suriah atas dugaan penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil.
Aksi beli juga memperoleh dukungan dari sebuah laporan kuat yang
mengejutkan pada pertumbuhan sektor manufaktur AS, meningkatkan harapan
permintaan energi akan meningkat di ekonomi terbesar dunia itu. Kontrak
utama New York, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate
(WTI) untuk pengiriman Oktober, naik 91 sen menjadi ditutup pada 108,54
dolar AS per barel.
Minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Oktober naik 1,45
dolar AS menjadi 115,68 dolar AS per barel di perdagangan London, dari
tingkat penutupan Senin.
Obama pada Selasa menerima dukungan dua pemimpin DPR AS dari Partai
Republik -- Ketua DPR John Boehner dan Pemimpin Mayoritas DPR Eric
Cantor -- untuk serangan terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar
al-Assad dalam menanggapi dugaan serangan gas mematikan terhadap warga
sipil pada 21 Agustus.
Selama akhir pekan presiden AS mengatakan ia akan mencari otorisasi
dari Kongres untuk intervensi apapun, setelah pada pekan lalu
mengisyaratkan tindakan penghukuman bisa segera dilakukan.
Meskipun dukungan kuat dari para pemimpin Republik tidak berarti
bahwa Kongres akan memberikan Obama lampu hijau pada serangan yang
direncanakan, secara substansial itu meningkatkan kemungkinan suara ya,
mungkin secepatnya minggu depan setelah Kongres kembali dari reses musim
panas pada Senin (9/9). "Dia (Boehner) menyetujui rencana aksi
presiden, mengesampingkan perbedaan politik mereka, yang meningkatkan
kemungkinan konflik di Timur Tengah," kata Bart Melek, ahli strategi
komoditas di TD Securities.
0 komentar:
Posting Komentar