Rasanya baru beberapa minggu Masyarakat kota Tasikmalaya menjalankan program e-ktp. Sayapun demikian meskipun telat beberapa hari dari waktu yang dijadwalkan karena alasan sedang kuliah diluar Tasik. Akhirnya saya pun ikut mengatri berdasarkan nomor urut yang tertera. Lucunya disaat mengantri aja masih ada yang korupsi antrean mentang mentang kenal dengan si pemanggil nomor urut terlebih lagi orang kaya. Well, tapi saya gak akan membahas itu. Kali ini tentang bahaya dari e-ktp sendiri karena ada pemeriksaan sidik jari dan retina segala. Ada apa dibalik semua ini? pertanyaan itupun terus berputar-putar di benak saya saat menunggu antrian.
Pernahkah anda berfikir, kalau data-data pribadi kita yang tersimpan dalam e-KTP disimpan di mana? Apakah database di tingkat kelurahan dan kecamatan cukup aman menyimpan data pribadi kita?
Perlu diingat, yang tercantum dalam e-KTP bukan hanya data pribadi
semata, tapi biometrik kita, sidik jari kita, intinya, jati diri kita
seutuhnya ada dalam e-KTP. Mengutip kicauan Sekjen ICT Watch Donny BU
dalam twitter-nya, dengan data biometrik, ilmu yang berkembang
memungkinkan kita tau seseorang itu sakit apa, apa kelemahannya,
bagaimana potensi dirinya, dll.
Salah satu yang mengusik pikiran saya selama ini ialah kemiripan e-KTP
beserta chip di dalamnya dengan program The RFID Chip 666 sebagai alat
kontrol zionisme yang dimasukkan ke dalam permukaan kulit manusia. Dasar pengembangan RFID untuk manusia adalah sebuah sistem yang
disebut SmartCard yang memiliki microchip lithium yang berfungsi membaca
data riwayat seseorang yang berhubungan secara elektronik ke pusat data
pemerintah seperti informasi kesehatan, data pajak, dan jumlah tabungan
serta identitas pribadi lainnya
Tujuannya sederhana, Zionis ingin melakukan kontrolisasi dan
pendataan pergerakan manusia-manusia yang telah mereka incar. Dengan
dimasukkannya chip ke dalam tubuh manusia, hal itu akan memudahkan
mereka untuk memastikan target yang mereka incar berada dalam sebuah
pengawasan “Sang mata satu”.
RFID sendiri atau Radio Frequency Identification digunakan untuk
menyimpan atau menerima data secara jarak jauh dengan menggunakan suatu
piranti yang bernama RFID tag atau transponder. RFID tag adalah sebuah
benda kecil (sebesar biji beras) yang dapat ditempelkan pada suatu
barang atau produk. Hebatnya meski kecil, RFID tag berisi antena yang
memungkinkan mereka untuk menerima dan merespon terhadap suatu query
(semacam kemampuan untuk menampilkan suatu data dari database) yang
dipancarkan oleh suatu RFID transceiver.
Jadi… relakah personal diri kita dan kondisi biologis kita (via
biometrik) diserahkan via e-KTP kepada pihak yang kita tidak tahu siapa
mereka? Data e-KTP bisa dengan mudahnya berpindah ke mana-mana, baik
lewat email, flash disk, atau pun lewat jaringan Internet
global bisa berpindah tangan dengan cepatnya hanya dalam hitungan
sepersekian detik. Entah diterima siapa pun, termasuk yang tidak berhak
atau tanpa otorisasi.
Ngerinya, akan sangat mudah bagi siapapun yang punya keterampilamn
cukup, untuk mengekstrak data personal kita, apalagi jika penyimpanan database-nya tidak jelas. Kalau sudah begitu, siapa yang menjamin keamanan kita? Kemendagri-kah? DPR-kah, atau Pak SBY?
Dan parahnya, di Indonesia tak hanya masyarakatnya yang cuek dengan
data privasi, tetapi juga pemerintahnya. Hingga saat ini, pengadaan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sedang berlangsung. Sosialisasi
proyek berbiaya Rp5,84 triliun itu terus digalakkan.
Salah satu manfaat yang menjadi ‘jualan’ pemerintah adalah, e-KTP
akan mampu berkontribusi bagi keamanan nasional, khususnya dalam menekan
ruang gerak terorisme. Dengan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan
(NIK), identitas palsu diklaim akan segera dapat diketahui karena
tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut masih menjadi perdebatan, karena di era teknologi
informasi yang semakin canggih, data keamanan nasional tingkat tinggi
sekalipun rentan terhadap aktivitas para peretas dan pencuri data. Kasus
bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh
Wikileaks bisa menjadi contoh.
Namun pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),
sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat
ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan
melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga
Sandi Negara.
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan
dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai
penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint
Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perlu diketahui, L-1, yang berbasis di Stamford, Connecticut, AS,
adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Stanford Washington
Research Group, dalam laporannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar
internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai
US$14 miliar selama periode 2006-2011. L-1 menebar proyek hingga ke
lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan
SIM.
Dari sekelumit tulisan di atas, sangat memungkinkan apabila data
pribadi kita dikutip oleh negara lain. Apabila hal itu sudah terjadi,
kemana lagi kita bisa bersembunyi? Karena setiap jengkal tubuh kita bisa
diawasi dari jarak jauh sekalipun.
Dan Saat ini e-KTP telah mulai meluas digunakan di hampir seluruh negara
anggota Uni Eropa dan beberapa negara Asia seperti China dan India.
Akankah ini betul-betul menuju sebuah tatanan yang satu, maksud yang
satu, dan arah yang satu yakni sebuah tatanan dunia baru yang lazim
disebut New Wolrd Order. Kita harus jeli dan terus waspada. Awasi terus
program e-KTP.
Sumber; Solopos.com
2 komentar:
hahaha... lucu lo gan...
Anonim mengatakan...
hahaha... lucu lo gan...
wah orang ini gg paham kayanya...,
Posting Komentar