Minggu, 02 Januari 2011
Prolog Buku Meutya Hafid
“Bangun Meut! Bangun!”
Suara Budianto mengagetkanku. Tangannya menghentakkan tas yang kupakai sebagai bantal. Budi mengulangi teriaknya, “Bangun Meut! Bangun!”
Entah apa gerangan yang sedang terjadi. Otakku belum bekerja seratus persen, namun bisa kucerna nada kepanikan dalam lengkingan suara Budi. Setahuku, Budi adalah tipe lelaki Jawa yang halus tutur katanya. Tak pernah ia meninggikan suara kepadaku seperti ini.
168jam.jpgBelum sempat aku bertanya, Budi kembali berteriak, “Paspor Meut! Passpor…!” Paspor? Kenapa ada yang meminta paspor, padahal rasanya aku sudah lama tertidur sejak melintas perbatasan. Tapi tanganku refleks merogoh tas mencari paspor.
“Cepat Meut! Cepat!” Lagi-lagi Budi berteriak, kali ini lebih keras. Mungkin karena panik, tanganku sulit sekali menemukan paspor. Kuaduk-aduk isi tas. Mataku yang belum awas benar mencoba melihat sekeliling.
Rupanya kami berada di sebuah pom bensin. Posisi mobil yang kutumpangi seperti tengah mengisi bensin. Mataku menangkap sosok tiga lelaki mengepung mobil kami. Wajah mereka tertutup kain sorban yang biasa disebut kafiyeh. Hanya mata mereka yang terbuka. Aku yakin mereka warga Irak.
Budi duduk di jok depan, badannya membalik ke arahku karena tak sabar menungguku mencari paspor tanpa hasil. Di sebelah Budi, kursi tampak kosong. Kemana Ibrahim? Perhatianku beralih ke suara orang menghardik dalam bahasa Arab. Matanya memelototiku.
“Paspor!!” Hanya itu yang bisa kupahami dari rentetan bahasa Arab yang meluncur dari mulutnya.
Aku semakin bingung, tapi pasti ada yang tidak beres. Bukan hanya satu, tiga lelaki itu kini memaksaku dengan tatapan menusuk dan tidak sabar. Kutemukan pasporku, seorang dari mereka langsung menyambarnya. Pada saat bersamaan Ibrahim berlari entah dari mana. Rautnya panik.
“Sahafi! Sahafi! Muslim! Andonesi!” Setengah berteriak Ibrahim menjelaskan pada tiga lelaki itu bahwa kami wartawan muslim dari Indonesia. Ketiga lelaki itu tak mempedulikan berondongan penjelasan Ibrahim. Malah mereka menimpali dengan rentetan pernyataan yang lebih sengit. Itu membuat Ibrahim semakin pucat. Pasti posisinya tak berdaya.
Pintu mobil dibuka, tubuh Ibrahim yang tinggi besar didorong paksa ke arahku. Lalu seorang lelaki memaksa masuk dari samping Ibrahim, dan melompat ke kursi paling belakang. Tangannya menenteng senjata laras panjang jenis AK. Ia mengarahkan moncong senjatanya padaku sambil berteriak dalam bahasa Arab. Sepertinya ia mengatakan, “Jangan berontak, jangan bergerak!”
Di kursi depan, lelaki lain masuk dari pintu kanan, memepet tubuh Budi. Seorang lagi masuk dari pintu depan kiri, duduk di belakang kemudi. Ia membalik ke arah Ibrahim dan merebut kunci dari tangannya. Kasar dan beringas. Tubuh Budipun didorong ke kursi tengah sehingga posisinya terjepit tubuhku dan Ibrahim. Mesin dihidupkan, mobilpun dilarikan sangat kencang. Sekelebat aku melihat beberapa orang di pom bensin hanya melongo tanpa mampu menolong.
Mobil terus melaju kencang, membuat barang-barang bawaan kami, termasuk perangkat liputan, terguncang. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku berharap ini hanya bagian dari mimpi tidurku. Kakiku serasa melayang, tubuhku tak lagi menempel di kursi. Mimpikah? Bukan! Walau perasaanku sulit menerima, tapi otakku yang sudah terjaga terus menerus meyakinkan, “Ini kenyataan, Meut, bukan mimpi!” Akhirnya aku pasrah. “Inilah akhir hidupmu.”
Dalam kepasrahanku, Ibrahim mencoba lagi menjelaskan bahwa kami wartawan muslim dari Indonesia. Namun ketiga orang ini, dengan tubuh terguncang-guncang karena laju mobil tak karuan, tidak kalah sengit menjelaskan dalam bahasa Arab, entah apa. Suasana semakin tegang. Lagi-lagi usaha Ibrahim sia-sia belaka. Ini membuatku tidak mau lagi menghiraukan perdebatan mereka. Percuma. Kalau memang harus mati saat ini, aku mau mati dalam keadaan baik. Tanganku menggapai tas, merogoh buku Yasinan 40 hari kematian ayahku yang hari ini belum genap 1 tahun wafat. Mungkin hari ini aku akan menyusulmu, Ayah.
Tiba-tiba Ibrahim berteriak, “Quran! Quran..!” Telunjuknya mengarah ke buku Yasin. Lelaki di belakangku menodongkan senjata AK ke tubuhku. Ia menyangka aku merogoh tas untuk mengambil pistol atau senjata pembela diri. Nyaliku semakin ciut.
Aku sadar betul dalam situasi ini tak ada yang bisa kulakukan, kecuali berdoa. Tak kupedulikan lagi mereka yang terus menatapku. Kubuka buku dan membaca surat Yasin dalam hati. Tak kusangka, keacuhanku rupanya membuat mereka melunak. Lelaki di jok depan berbicara padaku dengan suara yang lebih halus. Ibrahim menerjemahkan, “Kami bukan pencuri. Kami muslim. Kami tidak akan melukaimu.” Benarkah? Seolah memahami raut kesangsianku, Ibrahim menambahkan, “Mereka adalah Mujahidin.” Mujahidin? Apa urusannya dengan kami?
Kuberanikan menatap lelaki yang tadi berbicara padaku. Matanya kini lebih bersahabat. Dari balik lilitan kafiyeh-nya yang melorot, sepertinya aku melihat senyuman tertahan di bibirnya. Ia menganggukkan kepala seolah membenarkan Ibrahim. Entah kenapa aku menjadi yakin kembali. Mungkin Tuhan masih memberi kesempatan aku hidup.
Mataku menoleh keluar, ketika iring-iringan tentara Amerika Serikat berpapasan dengan mobil kami. Iring-iringan yang sangat panjang. Puluhan tank, jeep humvee, kendaraan anti tank, dipenuhi tentara. Ketiga penangkap kami tak menyangka bakal berpapasan dengan rombongan besar tentara Amerika. Raut mereka menegang. Terdengar kokangan senjata AK di belakangku. Ya Tuhan, kami akan diberondong puluhan tentara Amerika jika tiga lelaki ini nekad. Tiba-tiba sang sopir membanting stir ke sebelah kanan, membuat posisi mobil terlempar dari ruas jalan. Untunglah tak membuat rombongan tentara curiga. Di depan dan belakang mobil kami memang banyak kendaraan lain yang juga memberi iring-iringan serdadu itu berlalu.
Setelah iring-iringan serdadu lewat, ketiga penangkap kami berdiskusi setengah berbisik. Sesaat kemudian mereka menutup mata Ibrahim dengan kafiyeh. Punggung Ibrahim didorong sehingga posisi tubuhnya membungkuk. Lalu giliran mata Budianto dililit. Ia juga dipaksa merunduk. Mungkin mereka khawatir kami akan berteriak meminta tolong saban berpapasan dengan kendaraan lain.
Aku memandang ke arah lelaki di jok depan. Matanya seperti meyakinkan bahwa mereka tak akan mencelakaiku. Kulirik jam tangan, pukul 4 sore waktu Indonesia barat. Jam 12 siang waktu Irak. Tiba-tiba mataku pun ditutup. Lelaki bersenjata di belakangku melilitkan kafiyeh. Kencang sekali, membuatku sulit bernapas. Tangannya menekan punggungku, membuat tubuhku merunduk. Hanya deru mesin mobil yang kini kudengar, bersahutan dengan suara jantungku yang semakin kencang berdegup.
Inikah perjalanan menuju kematian? Dunia pun gelap.
Label:
Resensi Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar